BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam era
yang senakin canggih dan meju ini apa pun bisa dilakukan untuk mencapai apa
yang diinginkan, begitu juga dalam dunia medis banyak cara agar mendapatkan
kekebalan/ketahanan tubuh terhadap penyakit tertentu”vaksin” tentu kata vaksin
sudah tidak asing lagi ditelinga kita, didalam makalah ini saya sedikit
mengulas tentang imunisasi menggunakan vaksin dipandang secara hukum Islam.
B. Tujuan
Penulisan
-
Menambah pengetahuan dibidang masalah fiqhyyah yang
kontemporer
-
Memenuhi tugas yang diberikanoleh dosen pembimbing.
C. Rumusan
Masalah
-
Mengetahui pengertian imunisasi
-
Mengetahui apa saja efek dari vaksinasi
-
Mengetahui hukum menggunakan vaksin
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Imunisasi
Secara
literal, imunisasi berasal dari kata ‘imun’ yang berarti kebal terhadap suatu
penyakit. Dengan demikian ‘imunisasi’ berarti pengebalan terhadap suatu
penyakit. Prosedur pengebalan tubuh terhadap penyakit melalui
teknik vaksinasi. Kata ‘vaksin’ itu sendiri berarti senyawa antigen yang
berfungsi untuk meningkatkan imunitas atau sistem kekebalan tubuh
terhadap virus. Itulah sebabnya imunisasi identik dengan vaksinasi. Vaksin
terbuat dari virus yang telah dilemahkan dengan menggunakan bahan tambahan
seperti formaldehid dan thyrmorosal.
1.
Jenis-Jenis Vaksin
Di antara jenis vaksin adalah:
hepatitis (untuk mengusahakan kekebalan hati terhindar dari penyakit), polio
(untuk mengusahakan atropi otot sehingga kebal dari penyakit dan jika kebal
manfaatnya antara lain bentuk kaki lurus atau normal tidak seperti huruf O atau
huruf X, dan kelumpuhan), rubella (supaya kebal dari serangan campak), BCG [Bacillus
Calmitte Guerine] untuk mencegah serangan TBC [Tuber Culocis], DPT [Dipteri
Portucis Tetanus] mencegah timbulnya penyakit gomen atau sariawan
dan batuk rejan serta tetanus, MMR [Measless Mumps Rubella].
Di Indonesia, praktik vaksinasi-imunisasi terhadap balita [bayi di bawah umur
lima tahun] antara lain: hepatitis B, BCG, polio, MMR, IPV, dan DPT.
Vaksinasi-imunisasi bahkan telah deprogramkan secara internasional oleh
WHO [World Health Organization].
2.
Bahan-Bahan Vaksin
Disebutkan bahwa materi yang
digunakan sebagai bahan vaksin ada dua macam, (1) bahan alami, antara
lain: enzim yang berasal dari babi, seline janin bayi, organ bagian tubuh
seperti: paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus, dan hati yang
diperoleh dari aborsi janin. Vaksin polio terbuat dari babi; atau campuran dari
ginjal kera, sel kanker manusia, dan cairan tubuh hewan tertentu antara lain
serum dari sapi atau nanah dari cacar sapi, bayi kuda atau darah kuda dan babi,
dan ekstrak mentah lambung babi, jaringan ginjal anjing, sel ginjal kera,
embrio ayam, dan jaringan otak kelinci. (2) Bahan yang berasal dari unsur kimia
antara lain: merkuri, formaldehid, aluminium, fosfat, sodium, neomioin, fenol,
dan aseton.
B. Efek
Vaksinasi
Efek
pemberian vaksinasi terhadap balita [bayi umur lima tahun ke bawah, selanjutnya
cukup disebut balita] berdasar laporan-laporan resmi secara garis besar
ada dua macam:
1. Berbahaya. Conggres Amerika Serikat
(AS) membentuk “The National Chilhoodvaccib injury act” berkesimpulan vaksinasi
menyebabkan luka dan kematian. Dr. Wiliam Hay berkomentar, “tidak masuk akal
memikirkan bahwa anda menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil
dan dengan proses tertentu akan meningkatkan kesehatannya. WHO [World Health
Organization], yaitu organisasi kesehatan dunia menemukan bahwa anak yang
divaksinasi campak memiliki peluang 15 kali lebih besar unuk diserang campak.
Banyak penelitian medis mencatat kegagalan vaksinasi. Campak, gabag, polio,
gondong juga terjadi di pemukiman penduduk yang diimunisasi.
2. Bermanfaat. Disimpulkan bahwa
imunisasi merupakan sebab utama penurunan jumlah penyakit. Dicatat oleh ‘The
Brithis Association for the Advancement of Science” menemukan bahwa di
Amerika Serikat dan Enggris mengalami penurunan penyakit sebanyak 80 % hingga
90 %. Umumnya di Indonesia seperti kita alami, dulu ketika masih kecil yang
bekas-bekasnya masih jelas hingga sekarang, benar adanya menjadikan ada
imunitas dalam tubuh kita. Jadi secara real (nyata), imunisasi ada menfaatnya
bagi kesehatan.
Disebutkan pula bahwa secara umum
vaksinasi-imunisasi cukup aman karena keuntungan perlindungan jauh lebih besar
dari pada efek samping yang mungkin ditimbulkan.
Memang, kegagalan
vaksinasi-imunisasi terjadi pada saat rintisan teknologi itu. Dengan demikian
laporan WHO [World Health Organization] tentang efek buruk
vaksinasi-imunisasi itu benar adanya. Akan tetapi, penelitian, penyempurnaan di
bidang kesehatan terus dilakukan sehingga efek buruk dari vaksinasi-imunisasi
itu dapat dikuramngi bahkan sekuat tenaga dinetralisir. Sehingga, perkembangan
selanjutnya terdapat penyempurnaan di berbagai unsur. Perkembangan selanjutnya,
formula vaksinasi-imunisasai lebih bagus, lebih halus, dan lebih aman, sehingga
ada manfaatnya bagi usaha meningkatkan sistem kekebalan tubuh manusia, termasuk
balita bagi vaksinasi-imunisasi mereka seperti: MMR , DPT, BCG, IPV, dan polio.
C. Pandangan
Islam Tentang
Vaksinasi-Imunisasi
a) Wasiat Rasulullah
Sebelum Rasulullah wafat,
tepatnya ketika beliau khutbah pada haji wada’, haji terakhir beliau atau
dikenal sebagai haji perpisahan beliau dengan umat Islam, sempat
berwasiat: “Taraktu fiikum amraini. Lan tad}illu> abada> ma>
intamassaktum bihima> kitaba-lla>hi wa sunnata Rasu>lihi
تركت فيكم امرين لن تضلوا ابدا ما ان تمسكتم
بهما كتاب الله وسنة رسوله.
Artinya:
Aku tinggalkan kepadamu dua perkara.
Kamu tidak akan tersesat selamanya selagi berpegang teguh keduanya, yaitu
kitabullah (Alquran) dan Sunnah Rasulnya – al-Hadis. Oleh karena masalah
vaksinasi-imunisasi belum terjadi pada masa Rasulullah, maka belum ada petunjuk
sedikitpun tentang imunisasi. Terhadap masalah yang bersifat kontemporer
menjadi lapangan dan lahan bagi para ulama untuk melakukan ijtihad menemukan
solusi hukum perkara tersebut haram atau halal, baik atau buruk, bermanfaat
atau berbahaya bagi kesehatan.
Para ulama dalam berijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer pasti tidak pernah
menghasilkan keputusan ijma’yyah ‘amiyyah (kesepakatan umum), melainkan khlafiyyah
(perbedaan pendapat diantara mereka). Bentuk khilafiyyah yang paling
ekstrim adalah halal atau haram. Tidak terkecuali mengenai vaksinasi-imunisasi.
Dalam Ilmu Fikih memang terdapat adagium “Man laa ya’lamu
khilaafiyyatan laa ya’lamu raaihatal fiqhi” (Barang siapa tidak mengenal
perbedaan pendapat, sesungguhnya ia tidak mengenal baunya Fikih”). Baunya saja
tidak mengetahui, apalagi ilmu fikihnya itu sendiri.
b)
Khilafiyah dalam hokum vaksin
1) Haram
Para ulama, pemikir, mujtahid ada
yang menghukumi haram terhadap tindakan vaksinasi-imunisasi. Argumen yang
diajukan antara lain memasukkan barang najis dan racun ke dalam tubuh manusia.
Manusia iu merupakan khaifatullah fi al-ard} dan asyraf al-makhlu>qa>t
(maskhluk yang paling mulia) dan memiliki kemampuan alami melawan semua
mikroba, virus, serta bakteri asing dan berbahaya.Berbeda dengan orang kafir
yang berpendirian manusia sebagai makluk lemah sehingga perlu vaksinasi untuk
meningkatkatkan imunitas pada manusia.
Para filosof Barat dari aliran
Eksistensialisme kiri, seperti Jean Paul Sartre menyatakan bahwa manusia
hanyalah sampah yang terbuang dan tak berarti. Ia berkata: My original fall
is the existence of the Other. I grasp the Other’s look ad the very center of
my act as the solidificatiom and alineatiom of my own possibilities (Asal
mula kejatuhanku karena keberadaan orang lain. Aku mengerti tatapan orang lain
tertuju benar-benar kepada setiap tindakanku sebagai sesuatu yang padat dan
mengasingkan kemungkinan-kemungkinanku yang aku punyai; Jen Paul Sartre: 1948:
263). Yang ia maksud dengan istilah ‘kejatuhan’ adalah ketidakmaknaan
keberadaannya. Jadi manusia tak ubahnya bagaikan sampah. Ia menambahkan bahwa
kejatuhannya itu adalah permanen. . . . “is the permanent structure of my
being for the Other” (ibid). Hanya karena manusia diperhatikan orang lain
dimaknai dimakan orang lain hingga kepribadiannya hancur tak bermakna. Dari
sinilah ia juga mengatakan manusia sebagai homo homini lopus (manusia
adalah binatang yang saling memangsa). Paham ini kemudian masuk ke Indonesia
antara lain melalui sajak Chairil Anwar tentang ‘Aku’. Dalam sajak ini
disebutkan bahwa manusia hanyalah binatang jalang dari kumpulan yang
terbuang. Lebih dari itu, pendapat manusia sebagai binatang telah berakar
sejak zaman filsafat Yunani purba.Aristoteles menyatakan bahwa manusia hanyalah
binatang yang berpikir. Esensi pendapat ini adalah menyatakan bahwa manusia
hanyalah binatang. Jadi tidak bermasalah sama sekali jika di dalam tubuhnya
dimasukkan sesuatu yang menurut syariat adalah benda-benda najis karena
‘manusia’-nya sendiri adalah sesuatu yang identik dengan ‘najis’.
Solusi yang diajukan untuk
meningkatkan kekebalan balita adalah menghindari tindakan vaksinasi-imunisasi
pada balita maupun manusia pada umumnya, selanjutnya menerapkan syariat tahnik
kepada balita, yaitu memasukkan kurma yang telah dikunyah lembut
atau madu ke dalam rongga mulut si bayi ketika melaksanakan uapaca ‘aqiqah
pada hari ke tujuh dari kelahiran anak. Tahnik dipandang sebagai
vaksinasi-imunisasi. Perlu ditambahkan bahwa pada zaman Nabi tidak ada anak
yang divaksinasi dan kenyataannya juga sehat-sehat dan banyak yang berumur
panjang. Artinya umur harapan hidup rata-rata sejak zaman Rasulullah dan zaman
sekarang kurang lebih sama.
Segera diingatkan di sini bahwa,
jika seseorang melakukan tahniq terhadap balita, terutama ayahnya,
jangan mengikuti praktik Nabi, yaitu mengunyah kurma, setelah lembut kemudian
dimasukkan ke mulut anak. Praktik Nabi ini harus dipandang kasus ekstrim atau
istimewa. Ada sesuatu yang berada di luar nalar. Sebut saja karamah beliau. Abu
Hurairah diludahi mulutnya oleh Rasulullah, bukan ludah kebencian, menyebabkan
Abu Hurairah sangat fasih dan merupakan sahabat yang paling banyak menghafal
hadis (al-muktsiru>na fil h}adis; Abd al-Baqi, 2007:902), padahal
sahabat ini hanya bersama dengan belaiau kurang lebih dua tahun setengah masa
akhir-akhir hidup Rasul. Sahabat ini memang masuk Islam belakangan, setelah Futuh}
Makah, pelaklukan kota Makah oleh Rasulullah beserta pasukannya dari
Madinah. (Iwan Gayo,2008: 61). Jika seseorang melakukan tahnik persis
seperti praktik Rasulullah, dikhawatirkan sekali banyak mengandung virus pada
air liur pengunyah kurma. Sementara itu, si bayi yang baru berumur tujuh hari
belum memiliki sistem kekebalan yang sempurna. Untuk itu, dalam melakukan tahniq
hendaklah menggunakan madu berkualitas bagus atau sari kurma. Sekarang telah
banyak tersedia di toko-toko obat, apotik, bahkan took-toko swalayan seperti
mall yang menyediakan sari kurma berbentuk cairan. Kedua bahan ini lebih hygine
dan insya Allah steril dari kuman, bakteri, jamur, maupun virus yang
membahayakan bagi kesehatan bayi karena diproses menurut teknologi modern dan
sehat.
MUI [Mejlis Ulama Indonesia]
menghukumi haram menggunakan obat, termasuk vaksinasi-imuniasi, yang
najis. Pemberian vaksinasi IPV [Infection of Pneumococus vaction,
selanjutnya cukup disebut IPV] terhadap anak yang menderita imunocompromisme
saat ini boleh sepanjang belum ada jenis IPV lain yang halal.
Manfaat yang diharapkan dari vaksin ini antara lain juga untuk mengusahakan
kekebalan paru-paru dari serangan penyakit.
2) Halal
Kelompok kedua mengatakan bahwa
vaksinasi-imunisasi adalah halal. Pada prinsipnya vaksinasi-imunisasi
adalah boleh alias halal karena; (1) vaksinasi-imunisasi sangat dibutuhkan
sebagaimana penelitian-penelitian di bidang ilmu kedokteran, (2) belum
ditemukan bahan lainnya yang mubah, (3) termasuk dalam keadaan darurat,(4)
sesuai dengan prinsip kemudahan syariat di saat ada kesempitan atau kesulitan.
Ayat tersebut menjelaskan prinsip kemudahan dalam pelaksanaan syariat Islam: “Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah/2 : 172).
Dari ayat ini dapat diambil
pengertian bahwa memakan yang mestinya haram seperti memakan daging babi yang
telah dimasak menjadi halal ketika memang tidak ada makanan selain itu, selagi
ia memakannya secukupnya, yaitu untuk menyambung hidup, bukan dalam arti
memakan daging babi dalam berbagai olahan kuliner sehingga mendatangkan aneka
macam aroma, rasa, dan citarasa untuk berpestaria dalam hal makan-memakan.
Harap diingat bahwa ada saja seorang muslim yang tampaknya hidup di
perkotaan, tinggal di asrama mewah tetapi ia dalam keadaan darurat terus
menerus, yaitu makanan harian selalu mengandung unsur babi dan alkohol sarana
mabuk. Dia itu seperti seorang muslim studi di luar negeri di negara sekuler
yang jauh dari suasana Islam. Dalam keadaan demikian, ia boleh saja makan
harian sebagaimana mereka dari penduduk asli non muslim makan. Setelah ia
selesai studi dan pulang ke kampung halaman, keadaan menjadi normal, ia harus
kembali hanya makan yang halal. Dengan demikian, secara analogis
vaksinasi-imunisasi yang bahan-bahan alaminya najis boleh dilakukan terhadap
keluarga muslim lantaran belum ada faksin yang sepenuhnya dari benda-benda
halal dan suci, dari najis.
Berkenaan dengan benda najis ini,
perlu disampaikan pula di sini tentang vaksinasi-imunisasi meningitis bagi para
calon jamaah haji. Pemerintah Arab Saudi hanya memperbolehkan jamaah haji asal
non Arabia jika telah memiliki sertifikasi vaksinasi-imunisasi meningitis.
Sementara itu, vaksin ini mengandung unsur babi. Untuk jamaah dari Indonesia,
vaksin yang harus disuntikkan ke dalam tubuh calon jamaah haji adalah jenis
meningitis tetravalent atau quadrivalernt karena berasal dari bakteri N
yang lazim disebut ACWY dan diproduksi oleh Glaxo Smith Kline, Belgia.
Sebenarnya, dalam formula akhir, barang jadi siap pakai, vaksin
meningitis ini telah steril dari enzim babi. Enzim babi ini hanya digunakan
dalam proses pembuatan formula vaksin (Majlis Tarjih Jateng, 2010 : 6). Namun
demikian tetap ada yang keberatan menggunakannya, lebih baik tidak ibadah haji
dari pada memasukkan benda najis mughalad}ah ke dalam tubuh yang tidak
bisa disucikan secara syariat. Jika pendirian ini menjadi kebijakan resmi kaum
muslimin tentu tida ada orang Islam melakukan ibadah haji yang berasal
dari non Arab. Oleh karena itu, agar setiap orang Islam dapat melakukan ibadah
haji, asal mampu, maka keharusan menggunakan vaksin meningitis sebagaimana
disyaratkan oleh pemerintah Saudi Arabia harus kita terima sebagai seseuatu
yang darurat. Selanjutnya prinsip keadaan darurat diberlakukan, bahwa setiap
keadaan darurat diperbolehkan yang semula dilarang.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam masa
rasulullah belum ditemukannya vaksin dan hukum yang berhubungan dengan vaksin
itu sendiri, maka dalam hal ini para ulama berijtihad dalam mendapatkan hokum
menggunakan vasin. Dalam hal ini ada dua pendapat hokum vaksin hasil dari
ijtihad ulama yaitu ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Abdul Baqi’, Ahmad Fuad, 2007, al-Lu’lu> u wa
al-Marja>n, (terj.) Salim Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu.
-
Gayo, M.Iwan, 2008, Buku Pintar Haji dan Umrah,
Jakarta: Grasindo.
-
Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia
-
Ibnu Taimiyyah, al-Fata>wa al-Kubra, I : 43
-
Majlis Tarjih dan Tajdid (MT-T), 2010, Musyawarah Wilayah
Tarjih ke 8, Kendal: Pondok Modern Darul Arqam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar