BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di Zaman
Globlalisasi ini, Masyarakat mulai tertarik dengan perbankan, yang mana
menjanjiakan banyak keuntungan bagi nasabah (investor, Debitor dan Kreditor).
Dengan janji keuntungan yang besar tersebut, masyarakat sudah tidak peduli
dengan aturan atau tatanan dalam sosial ekonomi dan agama.
Mereka
menganggap aturan aturan yang ada (sosial ekonomi dan agama) hanya menjadi
penghalang kesuksesan dan kecukupan kebutuhan hidup yang lebih dari sebelumnya.
B.
Rumusan Masalah
·
Apakah
pengertian Bunga Bank
·
Manfaat
bunga bank jika dipandang dari segi social ekonomi
·
Bagaimana
pandangan Islam tentang bunga bank
C.
Maksud dan Tujuan
·
Untuk
mengetahui tentang perbankan
·
Untuk
mengetahui apakah
bunga bank
·
Untuk
mengetahui hubungan bunga bank di segi sosial ekonomi
·
Untuk
mengetahui hukum bunga bang menurut ulama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bank
Bank adalah
sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk
menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang
dikenal sebagai banknote.
Kata bank berasal
dari bahasa Italia banca berarti tempat penukaran
uang . Sedangkan menurut undang-undang perbankan, bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Industri
perbankan telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir.
Industri ini menjadi lebih kompetitif karena deregulasi peraturan. Saat ini,
bank memiliki fleksibilitas pada layanan yang mereka tawarkan, lokasi tempat
mereka beroperasi, dan tarif yang mereka bayar untuk simpanan deposan.
B.
Manfaat Bunga Bank Dilihat Dari Segi
Sosial Ekonomi
Inilah
beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan sosial ekonomi:
1.
Sebagai
model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai
salah satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi
jangka pendek (yield enhancement).
2. Sebagai cara lindung nilai, yang berarti,
transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan
risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk
management.
3. Informasi harga, yang berarti, transaksi
derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi
tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari (price discovery).
4. Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi
derivatif dapat memberikan kesempatan spekulasi (untung-untungan) terhadap
perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu sendiri.
5. Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik
dan efisien, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada
manajemen produksi sebuah produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan
pasar pada masa mendatang.
Terlepas
dari funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya, maka yang perlu
diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari
eksistensi bank di Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat
(4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia
bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak”. Meninjau lebih dalam terhadap kegiatan usaha
bank, maka bank (perbankan) Indonesia dalam melakukan usahanya harus didasarkan
atas asas demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian.4 Hal ini,
jelas tergambar, karena secara filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro
terhadap proses pembangunan bangsa.
C.
Bunga Bank Dilihat Dari
Hukum Agama Islam
1.
Pengertian bunga ( dalam
perbankan)
Bunga menurut fatwa MUI adalah
tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka,
dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Menurut
sejarahnya dan kenyataannya, bank adalah sesuatu perusahaan yang bertujuan
untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari selisih bunga yang harus
dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Kalau
bank membayar bunga 3% kepada orang yang memberi pinjaman , sedang ia menerima
5% dari yang meminjam, maka ia mendapatkan keuntungan 2%. Disamping itu, bank
mendapat imbalan bagi kegiatan-kegiatan lainya.
Pandangan islam tentang pelaksanaan menerima
pinjaman dan memberikan pinjaman dengan menggunakan bunga? Apakah ini termasuk
riba yang dilarang oleh agama atau tidak?.
2.
Hukum bunga bank
“Riba
dengan kedua jenisnya: fadhl dan nasi`ah, adalah haram berdasarkan Al-Kitab,
As-Sunnah, dan ijma’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا
الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ
وَرَسُولِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian
orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah:
278-279)
Disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberi riba,
penulis, dan kedua saksinya. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka semua sama.”
Dengan demikian diketahui bahwa bunga yang
diberikan kepada nasabah berupa persentase dari uang pokoknya, baik itu per
pekan, bulanan atau tahunan, semuanya termasuk riba haram yang terlarang secara
syar’i, baik persentase ini berfluktuatif maupun tidak (suku bunga flat)….”
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga pernah ditanya: “Apa hukum penambahan nominal yang diambil oleh bank?”
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga pernah ditanya: “Apa hukum penambahan nominal yang diambil oleh bank?”
Mereka menjawab (13/349):
“Faedah (bunga) yang diambil bank dari nasabah dan bunga yang diberikan bank
kepada nasabah adalah riba yang telah tetap (pasti) keharamannya berdasarkan
Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’.”
3.
Riba
Haram
Dalam kamus al-Mu`jam
al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis dkk. dijelaskan bahwa riba secara
etimologis berarti kelebihan dan tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah), sedang
menurut syarak adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan
kepada salah satu dari dua orang yang melakukan akad. Dalam Ensiklopedi Hukum
Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, dkk dijelaskan bahwa para
ulama fikih mendefinisikan riba sebagai “Kelebihan harta dalam suatu muamalah
dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan terhadap modal uang
yang timbul sebagai akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan
terutama kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Memang dalam berbagai kitab fikih ditemukan
definisi tentang riba yang sedikit banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya
oleh para ulama. Namun, setelah mengemukakan beberapa definisi tersebut,
Muhammad Baiba dalam kitabnya, al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat
ar-Ribawiyah, halaman 21 menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di
kalangan ulama dari berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja.
Muhammad Baiba menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya
riba. Tidak ada yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga
dalam kitabnya, Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum
Muslim tentang haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak
sekali ulama yang menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama
kontemporer, Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba
al-Haram, halaman 14 menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui
nash-nash yang jelas dengan kandungan makna yang pasti (qath`i).
Sementara itu, Nabi saw. dengan berbagai
ungkapan banyak sekali mengeluarkan larangan praktik riba. Antara lain adalah
hadis riwayat Muslim, Abdullah berkata : Rasul saw. melaknat orang yang memakan
riba dan yang memberikan riba.” Dalam riwayat Muslim juga diterangkan oleh
Jabir bin Abdullah ra. : Rasul saw, melaknat orang yang memakan riba, orang
yang memberinya, orang yang menulisnya, dan dua orang yang menjadi saksinya.”
Dengan ungkapan lain al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul saw.
bersabda : “Hindari kamulah tujuh hal yang membinasakan. Mereka (para sahabat)
bertanya, “ Apa itu ya Rasul? Rasul saw, menerangkan: Syirik kepada Allah,
sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa hak, dan memakan riba.
Demikianlah seterusnya banyak sekali hadis tentang larangan melakukan riba dan
haramnya hasil riba.
4.
Bunga Bank Sama Dengan Riba
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah bunga
bank sebagaimana yang dipahami secara konvensional dewasa ini sama dengan riba.
Sistem bank konvensional tidak ada di masa Rasul, bahkan tidak ditemukan di
zaman klasik dan pertengahan, Menurut sementara informasi, bank konvensional
pertama sekali didirikan pada tahun 1157 M di Itali. Kemudian, sistem ini
berkembang pada seperempat terakhir dari abad XVI dan mulai masuk ke
negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena tidak tidak ditemukan di
zaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas tentang hukum bunga bank
konvensional. Bahkan, dalam literatur klasik dan zaman pertengahan pun tidak
ditemukan.
Sebagai pedoman hidup sepanjang zaman, Islam
harus mempunyai sikap terhadap bunga bank. Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil
hukum dalam Islam itu tidak hanya Alquran dan Hadis. Selain itu ada ijmak,
qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, uruf, syar`u man
qablana, dan pendapat sahabat Nabi, Lebih daripada itu, dalam menetapkan hukum,
Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang timbul dalam masya-rakat. Dalam menerapkan dalil dan kaedah
ini para ulama menggunakan ijtihad mereka yang kadang-kadang berakhir dengan
perebedaan pendapat. Karena itu, mengenai hukum bunga bank juga terjadi
perbedaan pendapat. Meskipun sejak lama sudah banyak ulama yang
meng-haramkannya, namun masih ada yang memandangnya tidak sama dengan riba.
Misalnya, Muhammad Baiba, Yusuf al-Qardhawi, Abu al-A`la al-Maududi, H.Nukman
Sulaiman, H. Hamdan Abbas, dan sejumlah ulama telah lama memandang bung bank
sama dengan riba. Akan tetapi, Rasyid Rida, A. Hassan, dan M. Qjuraish Shihab
memandang keduanya berbeda sehingga hukumnya pun berbeda. Bahkan, di MUI Tk.I
SU sendiri masalah hukum bunga bank dibicarakan pada tahun 1985 dan 2003 dan
hasilnya masih tidak sepakat atas keharamannya. Akan tetapi, dengan keluarnya
fatwa MUI Pusat tentang keharaman bunga bank tahun 2003, maka seluruh MUI
tingkat daerah tunduk kepada fatwa MUI Pusat tersebut, termasuk MUI Tk.I SU.
5.
Fatwa dan Konsensus Tentang Bunga Bank
Selain dari pendapat-pendapat para ulama secara
pribadi mengenai haramnya bunga bank, telah terbentuk beberapa fatwa dan
konsensus tentang haramnya bunga bank, baik dalam negeri maupun di luar negeri.
Misalnya, Lembaga Pengkajian Islam Al-Azhar (Majma` al-Buhuts al-Islamiyah
Al-Azhar) Mesir sejak lama telah mencapai konsensus tentang haramnya bunga
bank. Pada tahun 1965 lebih dari 350 ulama dan pakar hukum Islam dari seluruh
dunia melakukan pengkajian di Universitas al-Azhar. Ternyata mereka juga sampai
kepada kesimpulan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan dalam Islam.
Pada tahun 1985, Fiqh Academy negara-negara OKI juga menyim-pulkan keharaman
bunga bank. Pada tahun 1979 Dar al-Ifta Arab Saudi; pada tahun 1986 Fiqh
Academy Muslim World; dan pada tahun 1999 Mahkamah Syari`ah Pakistan semuanya
berkesimpulan tentang haramnya bunga bank. Delapan belas fatwa dari
keputusan-keputusan para mufti Mesir sejak tahun 1907 sampai 2002 hampir
seluruhynya mengharamkan bunga bank.
Secara organisasi, pada tahun 1991 Persis telah
menetapkan bahwa bunga bank adalah haram. Pada Muktamar di Bandar Lampung tahun
1992, Nahdhatul Ulama meminta PB NU untuk mengupayakan memiliki bank yang tidak
mengandung unsur yang haram. Pada tahun 1998, Muhammadiyah telah menetapkan
bahwa hukum bunga bank syubhat yang harus dihindari. Pada tahun 2001,
Al-Washliyah menetapkan bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram.Terakhir,
pada tahun 2003 secara nasional MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang keharaman
bunga bank.
6.
Keabsahan Fatwa MUI Pusat
Badan yang membidangi hukum dalam MUI adalah
Komisi Fatwa. Komisi Fatwa ini terdiri dari para ulama dan pakar hukum Islam.
Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank disepakati oleh ketua-ketua atau yang
mewakili ketua komisi fatwa dari seluruh wilayah dan wakil-wakil dari
ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah. Oleh karena itu,
para peserta ijtima` yang memutuskan fatwa tersebut adalah orang-orang yang
berkompeten dari sudut akademis dan memiliki kewenangan legal di bidangnya
secara organisatoris maka ijtihad mereka dalam bentuk fatwa hukum adalah sah.
Bahkan, sebelum fatwa dalam skala nasional ini keluar, fatwa dalam sekala
internasional pun sudah berulang kali dikeluarkan dalam berbagai kesempatan
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Karena itu, keberatan dari sementara
orang tentang fatwa ini tidak perlu menimbulkan keraguan. Apalagi, keberatan
itu memang munculnya dari orang-orang yang cara berpikirnya dikenal sekuler,
tentunya tidak perlu dipertimbangkan.
Kemudian, dalam kenyataan pun telah jelas
bagaimana rapuhnya sistem bunga. Perjalanan perbankan konvensional di Indonesia
cukup melelahkan. Kita tidak tahu sampai kapan program penyehatan perbankan
yang menerapkan sistem bunga berlangsung. Meskipun telah banyak yang
dilikuidasi, namun yang masih hidup terus menjadi beban nasional. Sebaliknya,
bank-bank syariah sejauh ini belum ada yang memberati negara dan cenderung
berkembang.
Lembaga perbankan syariah terus berkembang
sehingga pada akhir 1999 tercatat 200 buah di seluruh dunia, termasuk di Eropa,
Amerika, dan Australia. Pada tahun 1992, sistem perbankan syariah mulai
diterapkan di Indonesia berdasarkan UU No. 7 tahun 1992. Sekarang, bank-bank
konvensional sendiri sudah banyak membuka divisi syariah di mana-mana. Ini
merupakan bagian dari bukti kemaslahatan yang terkandung dalam sistem perbankan
syariah.
- Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah Al-‘Arabi (Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang sependapat menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
- Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
- Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas halal haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
Menurut Mustafa
Ahmad al-Zarqa’ (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syria),
bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini sebagai realitas yang tak
dapat kita hindari. Karenanya umat islam diperbolehkan (mubah) bermuamalah
dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan
bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan
mendirikan bank tanpa adanya system bunga/riba, demi menyelamatkan umat Islam
dari cengkraman budaya yang tidak Islami.
Dari sini
kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama maupun cendikiawan Muslim
menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai berikut :
- Agar umat Islam tidak selalu berada dalam keadaan darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram
- Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga, riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan (eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi semakin miskin
- Guna melepaskan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur syubhat/haram, dan menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang itu membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
- Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah, khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya (haram/syubhat/halal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar