BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan atau perkawinan marupakan hal yang sakral
dalam kehidupan kita sebagai manusia yang memang diciptakan untuk mendapatkan
pasangan hidup saat kita siap dan menginginkannya. Sebagaimana telah di
jelaskan dalam pasal 1 UU No.1/1974 tentang perkawinan, bahwa ‘perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Dan diatur pula mengenai sahnya perkawinan dalam pasal
2 ayat 1 UU No.1/1974 perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Serta ketentuan dalam suatu
perkawinan untuk pentingnya dilakukan pencatatan sebagaimana bunyi ayat 2 bahwa
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan memang sangat perlu dilakukan dengan tujuan sebagaimana
tertera pada nomor 4 huruf b Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa “Dalam
undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di
samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan,
suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Pada penjelasan
tersebut dapat dipahami bahwa pentingnya pencatatan tersebut bertujuan untuk
terlaksananya tertib administrasi supaya tidak terjadi ketidakjelasan status
dalam suatu perkawinan dan perkawinan tersebut memiliki perlindungan hukum bila
suatu waktu terjadi sengketa.
Namun fakta yang sedang terjadi saat ini adalah
ketidakpatuhan yang dilakukan beberapa masyarakat dalam melakukan pernikahan
atau perkawinan dengan tidak melakukan pencatatan sebagaimana telah ditentukan
dalam UU No. 1/1974, seperti nikah siri. Sehingga hal itu menimbulkan berbagai
akibat pada kehidupan perkawinan seseorang yang tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dapat disebut pula perkawinan yang tidak
taat hukum.
B.
Rumusan Masalah
Dalam pembahasan mengenai Pernikahan Siri yang
dilakukan oeh beberapa masyarakat di Indonesia terdapat beberapa permasalahan
yang hendak dijadikan pembahasan, antara lain;
-
Apa yang dimaksud Pernikahan Siri?
-
Bagaimana Dampak dari Pernikahan
Siri?
-
Faktor apa yang menyebabkan
seseorang menikah siri?
-
Bagaimana pernikahan siri di mata
hukum Indonesia ?
Bagaimana solusi yang dapat dicapai jika pernikahan siri telah terjadi?
C.
Maksud dan Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini, ada beberapa hal yang menjadi maksud dan
tujuan yaitu untuk dapat mengetahui beberapa hal sebagaimana yang telah dimuat
dalam rumusan masalah serta dengan maksud untuk memenuhi tugas makalah yang
diberikan dosen pembimbing.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nikah siri atau juga disebut dengan nikah bawah tangan
ini cukup banyak diperbincangkan sehingga terdapat berbagai pendapat mengenai
nikah siri. Pendapat pertama yaitu nikah siri adalah nikah sembunyi-sembunyi,
padahal menurut ajaran agama Islam, Rasulullah memerintahkan “awlim walau bi
syatin” (umumkanlah pernikahanmu walau kau hanya memotong seekor anak domba
kecil), menikah siri adalah menikah yang tidak dicatat di KUA, padahal dalam
ajaran Islam menaati Allah, Rasul dan Pemerintah adalah suatu kewajiban.
Pendapat kedua, nikah siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan
agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor KUA bagi yang beragama
Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari (
psikiater & Ulama ) berpendapat bahwa “Telah terjadi upaya mengakali pernikahan
dari sebuah prosesi agung menjadi sekedar ajang untuk memuaskan hawa nafsu
manusia”,ia menilai pernikahan siri saat ini banyak dilakukan sebagai upaya
legalisasi perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih,
sehingga menurutnya pernikahan siri ini tidak sah.
Dari tiga pendapat tentang nikah siri tersebut maka
dapat didefinisikan bahwa nikah siri saat ini adalah nikah yang dalam
prakteknya tidak dilaksanakan sebagaimana diajarkan dalam agama Islam yang mana
harus turut mematuhi peraturan atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan
oleh pemerintah yaitu setelah menikah secara agama atau adat harus pula
dilakukan pencatatan di catatan sipil atau KUA sebagaimana telah diatur dalam
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 (2) dan sebagaimana disinggung dalam Kompilasi
Hukum Islam ( Instruksi Presiden R.I No. 1 tahun 1991) pasal 17 (1), sehingga
saat ini nikah siri menjadi suatu pernikahan yang tidak sah secara agama maupun
hukum di Indonesia. Alasan dari definisi tersebut adalah suatu pernikahan seperti
nikah siri ini akan tetap sah kedudukannya bila dilaksanakan sesuai rukun dan
syarat sahnya, sebab lain halnya jika sampai saat ini hukum yang berlaku di
Indonesia hanya hukum Islam yang ada, maka bagi siapapun yang menikah siri
tidak akan mengalami kesulitan, karena tidak perlu diadakan pencatatan.
Berhubung saat ini telah berlangsung ketentuan pemerintah yang juga telah
disepakati oleh masyarakatnya, maka ketentuan tersebut wajib ditaati oleh
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maju dalam suatu negara hukum.
B.
Dampak Perkawinan Siri
Di sini kita membahas hal yang terjadi sebagai akibat
dari praktek nikah siri sebagaimana yang dimaksud dalam masyarakat.
- Dampak bagi pihak istri / wanita
-
tidak diakui sebagai istri yang sah
-
tidak berhak atas nafkah dari
suami
-
tidak berhak mendapat warisan
suami jika telah meninggal
-
tidak berhak atas harta gono-dini
bila terjadi perceraian, karena secara hukum positif, perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah terjadi.
Dalam hal ini pihak wanita memang sangat banyak menerima
kerugian bila melakukan perkawinan siri. Belum lagi nantinya wanita tersebut
akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan
masyarakat, karena pandangan umum masyarakat menilai bahwa ia telah tinggal
dengan laki-laki diluar nikah atau sebagai istri simpanan.
- Dampak bagi Anak
Status
anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, sehinga di mata hukum
anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya tapi hanya dengan ibu dan
keluarga dari ibunya saja ( pasal 42 dan pasal 43 tentang perkawinan tahun 1974
& pasal 100 KHI ). Di dalam akte kelahirannyapun status anak dianggap
sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang
melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak
tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan
psikologis bagi si anak dan ibunya. Hal tersebut jelas dapat mengakibatkan
ketidak jelasan status anak di muka hukum, sehingga sewaktu-waktu si ayah akan
menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
- Dampak bagi ayah
Bagi
suami yang menikah siri ini, cenderung mendapat keuntungan, sebab ia dapat
bebas untuk menikah lagi karena pernikahan sirinya yang sebelumnya dianggap
tidak sah di mata hukum, Ia juga dapat menghindar dari kewajibannya memberi
nafkah untuk anak dan istrinya dari nikah siri tersebut, dan tidak pusing
dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain. Meski sebagian
memiliki keyakinan atau penyelesaian secara agama atau adat, namun tetap saja
sebagai warga yang bernegara pihak yang dirugikan dalam nikah siri ini seperti
pihak wanita yang menikah siri tidak memiliki kekuatan hukum bila terjadi
sengketa perdata pada pernikahan sirinya tersebut.
Faktor – faktor yang menyebabkan pernikahan sirri
dilakukan oleh beberapa masyarakat di Indonesia antara lain:
-
Faktor Kesadaran Hukum
-
Faktor Agama
-
Faktor Adat istiadat
-
Faktor Ekonomi
Kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang
masih kurang tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan pernyataan tersebut.
Salah satunya yaitu ketidakpatuhan untuk mencatatakan perkawinan atau
pernikahan sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 2 (2) UU No. 1/1974.
Pelanggaran tersebut memiliki banyak sekali hal yang menjadi alasan, misalnya
seperti keinginan menikah yang kedua kalinya bagi seorang suami yang masih
beristri, lebih patuh kepada adat sehingga menyepelekan hukum yang ditetapkan
oleh negara, niat untuk pernikahannya tidak diketahui oleh pihak tertentu yang
bersangkutan, dan sebagainya. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran
hukum masih kurang, dan itupun karena beberapa faktor yaitu sumber daya manusia
yang masih kurang ilmu pengetahuannya, pola berfikir dangkal yang disebabkan
rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang
dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama
Islam. Dengan demikian, perkawinan sering dilakukan secara aturan agama Islam
oleh masyarakat yang beragama Islam. Sedangkan dalam syarat dan rukun nikah
dalam ajaran Islam tidak dicantumkan secara spesifik mengenai keharusan
pencatatan perkawinan / pernikahan. Sehingga beberapa orang yang beragama Islam
tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA. Sebenarnya dalam agama Islam,
pencatatan nikah itu, diharuskan karena pernikahan tersebut termasuk kegiatan
mu’amalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian utang piutang sebagaimana
tecantum dalam surat Al Baqarah ayat 282, dan dalam hal ini, memang sudah
seharusnya peraturan untuk pencatatan tersebut ditaati sebagaimana firman Allah
yang berbunyi “taatilah Allah, taatilah Rasulullah dan pemimpinmu ( sepanjang
tidak bertentangan dengan hukum agama )”. Namun, ada beberapa orang Islam yang
tidak tahu mengenai hal ini, sehingga saat ini masih banyak yang melakukan
pernikahan sirri.
Sebagaimana faktor agama yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa faktor adat istiadat tidak jauh berbeda dengan faktor agama.
Karena, dalam suatu adat istiadat itu, yang mana peraturan-peraturannya tidak
tertulis dan diturunkan atau dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek
moyang, maka dalam hal perkawinan atau pernikahan seringkali dilaksanakan
secara adat yang dianut di daerahnya. Dan dalam pernikahan itupun tidak ada
syarat untuk melakukan pencatatan nikah, sehingga mereka tidak mencatatkan
pernikahan ke Catatan Sipil.Tetapi dalam hal ini, tetap harus kembali pada
kesadaran masyarakat sebagai masyarakat yang bernegara sehingga harus tetap
tunduk patuh pada peraturan yang telah ditetapkan oleh negara.
Faktor Ekonomi juga dapat menjadi salah satu penyebab dilakukannya
nikah sirri tapi tidak menjadi faktor utama. Alasannya adalah, jika suatu
pasangan yang memang jelas memiliki niat baik untuk menikah tanpa didorong
dengan niat-niat yang kurang baik, meskipun dalam hal ini mereka seorang yang
tidak mampu atau miskin tapi ingin segera menikah, maka mereka akan lebih
memikirkan hal yang terbaik untuk rumah tangga mereka kelak setelah pernikahan
di antara mereka terjadi. Sebab, jika mereka tidak siap dengan pernikahan yang
akan dilaksanakan, yaitu mengenai biaya pernikahan yang sederhana saja untuk
seperti mereka yang tidak mampu, dan ditambah dengan pengurusan akta nikah yang
saat ini harganya kurang lebih empat ratus lima puluh ribu rupiah, maka dengan
pertimbangan untuk menunda pernikahan sampai mampu untuk memenuhi semua itu
demi kebaikan nasib pernikahan mereka sendiri adalah merupakan pertimbangan
yang baik. Artinya, mereka yang tidak mampu, tetap dapat menahan niat mereka
untuk menikah dan tidak melaksanakan pernikahan sirri. Dan itu semua pun
kembali pada kesadaran dan pola pikir mereka masing-masing.
C.
Nikah siri di Mata Hukum
Indonesia
Sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya
bahwa nikah siri atau nikah bawah tangan adalah sah menurut ajaran agama Islam
bila dilakukan sesuai syarat dan rukun nikahnya. Namun, di mata hukum Indonesia
yang menghendaki pernikahan yang tidak hanya dilakukan nikah secara adat
ataupun agama, tetapi juga dilakukan pencatatan. Sehingga bagi yang menikah
siri tapi tidak melanjutkan dengan pencatatan, maka nikahnya dianggap tidak
sah.
Dari semua pembahasan tersebut, terdapat satu contoh
kasus nyata yang terjadi di jalan Patirana, desa Dadapan, kota Bondowoso yaitu
sebuah pernikahan sirri yang terjadi 3 tahun yang lalu dengan alur peristiwanya
adalah; “sebut saja nama pihak laki-laki adalah Jack dan pihak perempuan adalah
Rose. Jack adalah seorang duda yang kemudian menyukai Rose yang juga sorang
janda. Dari pertemuan mereka tersebut, kemudian tumbuh rasa cinta sehingga ada
dorongan untuk melakukan perkawinan, dengan tujuan untuk menghindari zina dan
gunjingan orang-orang, akhirnya mereka melakukan perkawinan sirri yang keduanya
didampingi oleh keluarganya. Namun, pernikahan sirri merekapun berdampak
negatif bagi kehidupan rumah tangganya. Sekitar satu setengah tahun sudah, rumah
tangga mereka tidak harmonis, sampai si suami yaitu Jack, sudah tidak
memperdulikan Rose lagi sebagai istrinya. Lalu Rose mengambil keputusan untuk
bercerai dari Jack. Tapi, dalam hal ini Rose mengalami kesulitan karena
pernikahannya tidak memiliki akta nikah. Kemudian, Rose mengajukan gugatan
cerai terhadap Jack ke pengadilan agama serta memohon supaya diIstbatkan
pernikahannya dengan Jack. Setelah itu, pernikahan mereka sebelumnya diperiksa
dan dapat dibuktikan dengan jelas mengenai terjadinya pernikahan sirri tersebut
dan proses perceraiannya berjalan sampai akhirnya mereka resmi bercerai secara
hukum”.
Dengan adanya contoh peristiwa di atas, terbukti bahwa
penyebab mereka nikah sirri yaitu karena faktor kepercayaan atau agama yang
mereka anut, sehingga dalam hal ini, mereka yang tidak dibekali dengan
pengetahuan yang cukup tentang agama Islam, kemudian melaksanakan suatu
pernikahan dengan tidak semestinya. Dan jalan keluar yang mereka tempuh
akhirnya dengan jalan Itsbat nikah dan artinya mereka bercerai gara – gara
pernikahannya yang mereka lakukan sebelumnya itu tidak membawa kebahagiaan
dalam rumah tangganya, dan artinya juga pernikahan yang mereka lakukan tidak
sesuai dengan tujuan dilakukannya pernikahan sebagaimana telah diatur dalam UU
No. 1 / 1974 dan pasal 3 KHI.
D.
Solusi bilamana pernikahan
sirri telah dilakukan
Bila nikah siri atau nikah bawah tangan telah
dilakukan, maka solusi yang dapat ditempuh guna mencapai keabsahan pernikahan
tersebut baik secara hukum adat atau hukum agama dan hukum yang berlaku di
Indonesia adalah dapat melakukan Itsbat Nikah bagi yang beragama Islam dan
melakukan perkawinan ulang ke KUA sedangkan bagi yang beragama non Islam dapat
melakukan perkawinan ulang sesuai agama yang dianut kemudian dilakukan
pencatatan ke Kantor Catatan Sipil. Keterangan lebih jelasnya adalah sebagai
berikut :
1.
Bagi yang beragama Islam
a.
Mencatatkan perkawinan dengan
Itsbat Nikah
Bagi yang beragama Islam, namun tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, maka dapat mengajukan permohonan Itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Sebagaimana pasal 7 (3) huruf a KHI, Itsbat nika ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
Bagi yang beragama Islam, namun tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, maka dapat mengajukan permohonan Itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Sebagaimana pasal 7 (3) huruf a KHI, Itsbat nika ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
-
dalam rangka penyelesaian
perceraian
-
hilangnya akta nikah
-
adanya keraguan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawinan
-
perkawinan terjadi sebelum
berlakunya UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan
-
perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai hanlangan perkawinan menurut UU no. 1/1974.
Untuk perkawinan siri, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan
dalam rangka penyelesaian perceraian, sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan
alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya
memiliki akta nikah dari pejabat berwenang. Bila ada salah satu dari kelima
alasan di atas yang dapat dipergunakan, maka segera mengajukan permohonan
itsbat nikah ke Pengadilan agama. Tetapi jika terdapat satupun alasan yang lima
tersebut, maka akan menjadi sulit.
Setelah itu, dapat mengurus akta kelahiran anak ke pencatatan sipil. Jika masa pengurusan akta kelahiran anak lewat dari 14 hari dari hari yang telah ditentukan, maka terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak ke PN setempat. Dengan demikian status anak bukan lagi anak di luar nikah.
Setelah itu, dapat mengurus akta kelahiran anak ke pencatatan sipil. Jika masa pengurusan akta kelahiran anak lewat dari 14 hari dari hari yang telah ditentukan, maka terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak ke PN setempat. Dengan demikian status anak bukan lagi anak di luar nikah.
b.
Melakukan Pernikahan Ulang
Usaha ini, dilakukan sebagaimana perkawinan menurut Ajaran Agama Islam
yang kemudian disertai dengan pencatatan ke KUA. Pencatatan perkawinan penting
agar ada kejelasan status bagi suatu perkawinan. Status anak yang lahir dalam
perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah (perkawinan
ulang tidak berlaku surut tehadap status anak yang dilahirkan sebelum
perkawinan ulang dilangsungkan) namun jika anak tersebut lahir setelah
perkawinan ulang dilangsungkan maka anak tertsebut statusnya sah. Sehingga bagi
anak yang lahir sebelum dilakukan perkawinan ulang harus di lakukan pencatatan
ke pencatatan sipil atau PN setempat.
2.
Bagi yang non Islam
Perkawinan Ulang dan Pencatatan Perkawinan
Perkawinan ulang dapat dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut, dan
setelah itu maka dilakukan pencatatan ke kantor Catatan Sipil. Jika Kantor
Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu maka dapat digugat ke PTUN.
Mengenai pengakuan anak, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun berdasarkan pasal 43 UU no.1/1974 yang intinya menyatakan bahwa anak lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun pengakuan anak hanya dapat dalakukan dengan persetujuan Ibu, sebagaimana di atur dalam pasal 284 KUH Perdata. Kemudian, apabila telah dilakukan pengakuan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya sebagaimana pasal 280 KUHPerdt.
Mengenai pengakuan anak, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun berdasarkan pasal 43 UU no.1/1974 yang intinya menyatakan bahwa anak lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun pengakuan anak hanya dapat dalakukan dengan persetujuan Ibu, sebagaimana di atur dalam pasal 284 KUH Perdata. Kemudian, apabila telah dilakukan pengakuan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya sebagaimana pasal 280 KUHPerdt.
Namun, pengakuan atas anak ini, tidak dapat dilakukan oleh anak yang
masih berusia di bawah 19 tahun, tapi untuk perempuan dapat melakukan pengakuan
anak meski belum genap sembilan belas tahun. Dan pengakuan anak tersebut bukan
dilakukan dengan paksaan, bujuk rayu, tipu dan khilaf sebagaimana pasal 282
KUHPerdt. Dan pengakuan anak tidak akan tercapai jika si Ibu tidak
menyetujuinya ( pasal 284 KUHPerdt ).
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan telah dibuatnya pembahasan mengenai perkawinan
sirri ini, maka dalam hal ini dapat ditarik suatu beberapa kesimpulan, antara
lain :
-
pernikahan sirri yang dilakukan
oleh beberapa masyarakat saat ini, merupakan pernikahan yang tidak sah di mata
hukum yang berlaku di Indonesia, karena hal tersebut tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum
Islam.
-
Terdapat beberapa faktor yang
dapat menimbulkan terjadinya pernikahan sirri tersebut yaitu faktor kesadaran
masyarakat, faktor agama, faktor adat istiadat, faktor ekonomi.
-
Suatu pernikahan sirri yang telah
terjadi, dimungkinkan hanya dapat diselesaikan dengan melakukan pernikahan
ulang dan apabila pernikahan tersebut ingin diakhiri maka dapat dilakukan
Istbat Nikah bagi yang beragama Islam sedangkan bagi yang non Islam dapat
melakukan perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan ke catatan sipil.
DAFTAR
PUSTALA
Ø Suhendi, Hendi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Ø Rasyid, M. Hamdan, Fiqih Indonesia : himpunan fatwa-fatwa
aktual, Jakarta: Al Mawardi Prima, 2003.
Ø Basyit, Ahmad Azhar, Asas-asa Hukum Mu’amalah. (Yogyakarta : UII
pres,1990),
Ø Daud, Ali Mahmud, Hukum Islam Di Indonesia : pengantar hokum
islam dan tata hokum islam di Indonesia, (Jakarta : PT: Grafindo, 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar