Cari Blog Ini

Senin, 27 Mei 2013

Nikah Sirri



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan atau perkawinan marupakan hal yang sakral dalam kehidupan kita sebagai manusia yang memang diciptakan untuk mendapatkan pasangan hidup saat kita siap dan menginginkannya. Sebagaimana telah di jelaskan dalam pasal 1 UU No.1/1974 tentang perkawinan, bahwa ‘perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Dan diatur pula mengenai sahnya perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974 perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Serta ketentuan dalam suatu perkawinan untuk pentingnya dilakukan pencatatan sebagaimana bunyi ayat 2 bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan memang sangat perlu dilakukan dengan tujuan sebagaimana tertera pada nomor 4 huruf b Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa “Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Pada penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pentingnya pencatatan tersebut bertujuan untuk terlaksananya tertib administrasi supaya tidak terjadi ketidakjelasan status dalam suatu perkawinan dan perkawinan tersebut memiliki perlindungan hukum bila suatu waktu terjadi sengketa.
Namun fakta yang sedang terjadi saat ini adalah ketidakpatuhan yang dilakukan beberapa masyarakat dalam melakukan pernikahan atau perkawinan dengan tidak melakukan pencatatan sebagaimana telah ditentukan dalam UU No. 1/1974, seperti nikah siri. Sehingga hal itu menimbulkan berbagai akibat pada kehidupan perkawinan seseorang yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dapat disebut pula perkawinan yang tidak taat hukum.
B.     Rumusan Masalah
Dalam pembahasan mengenai Pernikahan Siri yang dilakukan oeh beberapa masyarakat di Indonesia terdapat beberapa permasalahan yang hendak dijadikan pembahasan, antara lain;
-          Apa yang dimaksud Pernikahan Siri?
-          Bagaimana Dampak dari Pernikahan Siri?
-          Faktor apa yang menyebabkan seseorang menikah siri?
-          Bagaimana pernikahan siri di mata hukum Indonesia ?
Bagaimana solusi yang dapat dicapai jika pernikahan siri telah terjadi?
C.    Maksud dan Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini, ada beberapa hal yang menjadi maksud dan tujuan yaitu untuk dapat mengetahui beberapa hal sebagaimana yang telah dimuat dalam rumusan masalah serta dengan maksud untuk memenuhi tugas makalah yang diberikan dosen pembimbing.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Nikah siri atau juga disebut dengan nikah bawah tangan ini cukup banyak diperbincangkan sehingga terdapat berbagai pendapat mengenai nikah siri. Pendapat pertama yaitu nikah siri adalah nikah sembunyi-sembunyi, padahal menurut ajaran agama Islam, Rasulullah memerintahkan “awlim walau bi syatin” (umumkanlah pernikahanmu walau kau hanya memotong seekor anak domba kecil), menikah siri adalah menikah yang tidak dicatat di KUA, padahal dalam ajaran Islam menaati Allah, Rasul dan Pemerintah adalah suatu kewajiban. Pendapat kedua, nikah siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari ( psikiater & Ulama ) berpendapat bahwa “Telah terjadi upaya mengakali pernikahan dari sebuah prosesi agung menjadi sekedar ajang untuk memuaskan hawa nafsu manusia”,ia menilai pernikahan siri saat ini banyak dilakukan sebagai upaya legalisasi perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih, sehingga menurutnya pernikahan siri ini tidak sah.
Dari tiga pendapat tentang nikah siri tersebut maka dapat didefinisikan bahwa nikah siri saat ini adalah nikah yang dalam prakteknya tidak dilaksanakan sebagaimana diajarkan dalam agama Islam yang mana harus turut mematuhi peraturan atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh pemerintah yaitu setelah menikah secara agama atau adat harus pula dilakukan pencatatan di catatan sipil atau KUA sebagaimana telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 (2) dan sebagaimana disinggung dalam Kompilasi Hukum Islam ( Instruksi Presiden R.I No. 1 tahun 1991) pasal 17 (1), sehingga saat ini nikah siri menjadi suatu pernikahan yang tidak sah secara agama maupun hukum di Indonesia. Alasan dari definisi tersebut adalah suatu pernikahan seperti nikah siri ini akan tetap sah kedudukannya bila dilaksanakan sesuai rukun dan syarat sahnya, sebab lain halnya jika sampai saat ini hukum yang berlaku di Indonesia hanya hukum Islam yang ada, maka bagi siapapun yang menikah siri tidak akan mengalami kesulitan, karena tidak perlu diadakan pencatatan. Berhubung saat ini telah berlangsung ketentuan pemerintah yang juga telah disepakati oleh masyarakatnya, maka ketentuan tersebut wajib ditaati oleh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maju dalam suatu negara hukum.
B.     Dampak Perkawinan Siri
Di sini kita membahas hal yang terjadi sebagai akibat dari praktek nikah siri sebagaimana yang dimaksud dalam masyarakat.
  1. Dampak bagi pihak istri / wanita
-          tidak diakui sebagai istri yang sah
-          tidak berhak atas nafkah dari suami
-          tidak berhak mendapat warisan suami jika telah meninggal
-          tidak berhak atas harta gono-dini bila terjadi perceraian, karena secara hukum positif, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Dalam hal ini pihak wanita memang sangat banyak menerima kerugian bila melakukan perkawinan siri. Belum lagi nantinya wanita tersebut akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan masyarakat, karena pandangan umum masyarakat menilai bahwa ia telah tinggal dengan laki-laki diluar nikah atau sebagai istri simpanan.
  1. Dampak bagi Anak
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, sehinga di mata hukum anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya tapi hanya dengan ibu dan keluarga dari ibunya saja ( pasal 42 dan pasal 43 tentang perkawinan tahun 1974 & pasal 100 KHI ). Di dalam akte kelahirannyapun status anak dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Hal tersebut jelas dapat mengakibatkan ketidak jelasan status anak di muka hukum, sehingga sewaktu-waktu si ayah akan menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
  1. Dampak bagi ayah
Bagi suami yang menikah siri ini, cenderung mendapat keuntungan, sebab ia dapat bebas untuk menikah lagi karena pernikahan sirinya yang sebelumnya dianggap tidak sah di mata hukum, Ia juga dapat menghindar dari kewajibannya memberi nafkah untuk anak dan istrinya dari nikah siri tersebut, dan tidak pusing dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain. Meski sebagian memiliki keyakinan atau penyelesaian secara agama atau adat, namun tetap saja sebagai warga yang bernegara pihak yang dirugikan dalam nikah siri ini seperti pihak wanita yang menikah siri tidak memiliki kekuatan hukum bila terjadi sengketa perdata pada pernikahan sirinya tersebut.
Faktor – faktor yang menyebabkan pernikahan sirri dilakukan oleh beberapa masyarakat di Indonesia antara lain:
-          Faktor Kesadaran Hukum
-          Faktor Agama
-          Faktor Adat istiadat
-          Faktor Ekonomi
Kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan pernyataan tersebut. Salah satunya yaitu ketidakpatuhan untuk mencatatakan perkawinan atau pernikahan sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 2 (2) UU No. 1/1974. Pelanggaran tersebut memiliki banyak sekali hal yang menjadi alasan, misalnya seperti keinginan menikah yang kedua kalinya bagi seorang suami yang masih beristri, lebih patuh kepada adat sehingga menyepelekan hukum yang ditetapkan oleh negara, niat untuk pernikahannya tidak diketahui oleh pihak tertentu yang bersangkutan, dan sebagainya. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang, dan itupun karena beberapa faktor yaitu sumber daya manusia yang masih kurang ilmu pengetahuannya, pola berfikir dangkal yang disebabkan rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Dengan demikian, perkawinan sering dilakukan secara aturan agama Islam oleh masyarakat yang beragama Islam. Sedangkan dalam syarat dan rukun nikah dalam ajaran Islam tidak dicantumkan secara spesifik mengenai keharusan pencatatan perkawinan / pernikahan. Sehingga beberapa orang yang beragama Islam tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA. Sebenarnya dalam agama Islam, pencatatan nikah itu, diharuskan karena pernikahan tersebut termasuk kegiatan mu’amalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian utang piutang sebagaimana tecantum dalam surat Al Baqarah ayat 282, dan dalam hal ini, memang sudah seharusnya peraturan untuk pencatatan tersebut ditaati sebagaimana firman Allah yang berbunyi “taatilah Allah, taatilah Rasulullah dan pemimpinmu ( sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama )”. Namun, ada beberapa orang Islam yang tidak tahu mengenai hal ini, sehingga saat ini masih banyak yang melakukan pernikahan sirri.
Sebagaimana faktor agama yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor adat istiadat tidak jauh berbeda dengan faktor agama. Karena, dalam suatu adat istiadat itu, yang mana peraturan-peraturannya tidak tertulis dan diturunkan atau dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang, maka dalam hal perkawinan atau pernikahan seringkali dilaksanakan secara adat yang dianut di daerahnya. Dan dalam pernikahan itupun tidak ada syarat untuk melakukan pencatatan nikah, sehingga mereka tidak mencatatkan pernikahan ke Catatan Sipil.Tetapi dalam hal ini, tetap harus kembali pada kesadaran masyarakat sebagai masyarakat yang bernegara sehingga harus tetap tunduk patuh pada peraturan yang telah ditetapkan oleh negara.
Faktor Ekonomi juga dapat menjadi salah satu penyebab dilakukannya nikah sirri tapi tidak menjadi faktor utama. Alasannya adalah, jika suatu pasangan yang memang jelas memiliki niat baik untuk menikah tanpa didorong dengan niat-niat yang kurang baik, meskipun dalam hal ini mereka seorang yang tidak mampu atau miskin tapi ingin segera menikah, maka mereka akan lebih memikirkan hal yang terbaik untuk rumah tangga mereka kelak setelah pernikahan di antara mereka terjadi. Sebab, jika mereka tidak siap dengan pernikahan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenai biaya pernikahan yang sederhana saja untuk seperti mereka yang tidak mampu, dan ditambah dengan pengurusan akta nikah yang saat ini harganya kurang lebih empat ratus lima puluh ribu rupiah, maka dengan pertimbangan untuk menunda pernikahan sampai mampu untuk memenuhi semua itu demi kebaikan nasib pernikahan mereka sendiri adalah merupakan pertimbangan yang baik. Artinya, mereka yang tidak mampu, tetap dapat menahan niat mereka untuk menikah dan tidak melaksanakan pernikahan sirri. Dan itu semua pun kembali pada kesadaran dan pola pikir mereka masing-masing.
C.    Nikah siri di Mata Hukum Indonesia
Sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa nikah siri atau nikah bawah tangan adalah sah menurut ajaran agama Islam bila dilakukan sesuai syarat dan rukun nikahnya. Namun, di mata hukum Indonesia yang menghendaki pernikahan yang tidak hanya dilakukan nikah secara adat ataupun agama, tetapi juga dilakukan pencatatan. Sehingga bagi yang menikah siri tapi tidak melanjutkan dengan pencatatan, maka nikahnya dianggap tidak sah.
Dari semua pembahasan tersebut, terdapat satu contoh kasus nyata yang terjadi di jalan Patirana, desa Dadapan, kota Bondowoso yaitu sebuah pernikahan sirri yang terjadi 3 tahun yang lalu dengan alur peristiwanya adalah; “sebut saja nama pihak laki-laki adalah Jack dan pihak perempuan adalah Rose. Jack adalah seorang duda yang kemudian menyukai Rose yang juga sorang janda. Dari pertemuan mereka tersebut, kemudian tumbuh rasa cinta sehingga ada dorongan untuk melakukan perkawinan, dengan tujuan untuk menghindari zina dan gunjingan orang-orang, akhirnya mereka melakukan perkawinan sirri yang keduanya didampingi oleh keluarganya. Namun, pernikahan sirri merekapun berdampak negatif bagi kehidupan rumah tangganya. Sekitar satu setengah tahun sudah, rumah tangga mereka tidak harmonis, sampai si suami yaitu Jack, sudah tidak memperdulikan Rose lagi sebagai istrinya. Lalu Rose mengambil keputusan untuk bercerai dari Jack. Tapi, dalam hal ini Rose mengalami kesulitan karena pernikahannya tidak memiliki akta nikah. Kemudian, Rose mengajukan gugatan cerai terhadap Jack ke pengadilan agama serta memohon supaya diIstbatkan pernikahannya dengan Jack. Setelah itu, pernikahan mereka sebelumnya diperiksa dan dapat dibuktikan dengan jelas mengenai terjadinya pernikahan sirri tersebut dan proses perceraiannya berjalan sampai akhirnya mereka resmi bercerai secara hukum”.
Dengan adanya contoh peristiwa di atas, terbukti bahwa penyebab mereka nikah sirri yaitu karena faktor kepercayaan atau agama yang mereka anut, sehingga dalam hal ini, mereka yang tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang agama Islam, kemudian melaksanakan suatu pernikahan dengan tidak semestinya. Dan jalan keluar yang mereka tempuh akhirnya dengan jalan Itsbat nikah dan artinya mereka bercerai gara – gara pernikahannya yang mereka lakukan sebelumnya itu tidak membawa kebahagiaan dalam rumah tangganya, dan artinya juga pernikahan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan tujuan dilakukannya pernikahan sebagaimana telah diatur dalam UU No. 1 / 1974 dan pasal 3 KHI.
D.    Solusi bilamana pernikahan sirri telah dilakukan
Bila nikah siri atau nikah bawah tangan telah dilakukan, maka solusi yang dapat ditempuh guna mencapai keabsahan pernikahan tersebut baik secara hukum adat atau hukum agama dan hukum yang berlaku di Indonesia adalah dapat melakukan Itsbat Nikah bagi yang beragama Islam dan melakukan perkawinan ulang ke KUA sedangkan bagi yang beragama non Islam dapat melakukan perkawinan ulang sesuai agama yang dianut kemudian dilakukan pencatatan ke Kantor Catatan Sipil. Keterangan lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
1.      Bagi yang beragama Islam
a.       Mencatatkan perkawinan dengan Itsbat Nikah
Bagi yang beragama Islam, namun tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, maka dapat mengajukan permohonan Itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Sebagaimana pasal 7 (3) huruf a KHI, Itsbat nika ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
-          dalam rangka penyelesaian perceraian
-          hilangnya akta nikah
-          adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
-          perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan
-          perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai hanlangan perkawinan menurut UU no. 1/1974.
Untuk perkawinan siri, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian, sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya memiliki akta nikah dari pejabat berwenang. Bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, maka segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan agama. Tetapi jika terdapat satupun alasan yang lima tersebut, maka akan menjadi sulit.
Setelah itu, dapat mengurus akta kelahiran anak ke pencatatan sipil. Jika masa pengurusan akta kelahiran anak lewat dari 14 hari dari hari yang telah ditentukan, maka terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak ke PN setempat. Dengan demikian status anak bukan lagi anak di luar nikah.
b.      Melakukan Pernikahan Ulang
Usaha ini, dilakukan sebagaimana perkawinan menurut Ajaran Agama Islam yang kemudian disertai dengan pencatatan ke KUA. Pencatatan perkawinan penting agar ada kejelasan status bagi suatu perkawinan. Status anak yang lahir dalam perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah (perkawinan ulang tidak berlaku surut tehadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan) namun jika anak tersebut lahir setelah perkawinan ulang dilangsungkan maka anak tertsebut statusnya sah. Sehingga bagi anak yang lahir sebelum dilakukan perkawinan ulang harus di lakukan pencatatan ke pencatatan sipil atau PN setempat.
2.      Bagi yang non Islam
Perkawinan Ulang dan Pencatatan Perkawinan
Perkawinan ulang dapat dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut, dan setelah itu maka dilakukan pencatatan ke kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu maka dapat digugat ke PTUN.
Mengenai pengakuan anak, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun berdasarkan pasal 43 UU no.1/1974 yang intinya menyatakan bahwa anak lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun pengakuan anak hanya dapat dalakukan dengan persetujuan Ibu, sebagaimana di atur dalam pasal 284 KUH Perdata. Kemudian, apabila telah dilakukan pengakuan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya sebagaimana pasal 280 KUHPerdt.
Namun, pengakuan atas anak ini, tidak dapat dilakukan oleh anak yang masih berusia di bawah 19 tahun, tapi untuk perempuan dapat melakukan pengakuan anak meski belum genap sembilan belas tahun. Dan pengakuan anak tersebut bukan dilakukan dengan paksaan, bujuk rayu, tipu dan khilaf sebagaimana pasal 282 KUHPerdt. Dan pengakuan anak tidak akan tercapai jika si Ibu tidak menyetujuinya ( pasal 284 KUHPerdt ).

























BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dengan telah dibuatnya pembahasan mengenai perkawinan sirri ini, maka dalam hal ini dapat ditarik suatu beberapa kesimpulan, antara lain :
-          pernikahan sirri yang dilakukan oleh beberapa masyarakat saat ini, merupakan pernikahan yang tidak sah di mata hukum yang berlaku di Indonesia, karena hal tersebut tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
-          Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan terjadinya pernikahan sirri tersebut yaitu faktor kesadaran masyarakat, faktor agama, faktor adat istiadat, faktor ekonomi.
-          Suatu pernikahan sirri yang telah terjadi, dimungkinkan hanya dapat diselesaikan dengan melakukan pernikahan ulang dan apabila pernikahan tersebut ingin diakhiri maka dapat dilakukan Istbat Nikah bagi yang beragama Islam sedangkan bagi yang non Islam dapat melakukan perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan ke catatan sipil.







DAFTAR PUSTALA
Ø  Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Ø  Rasyid, M. Hamdan, Fiqih Indonesia : himpunan fatwa-fatwa aktual, Jakarta: Al Mawardi Prima, 2003.
Ø  Basyit, Ahmad Azhar, Asas-asa Hukum Mu’amalah. (Yogyakarta : UII pres,1990),
Ø  Daud, Ali Mahmud, Hukum Islam Di Indonesia : pengantar hokum islam dan tata hokum islam di Indonesia, (Jakarta : PT: Grafindo, 1993)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar