BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai orang muslim kita harus mengetahui hukum-huku fiqih,
khususnya mengenai puasa. Karena puasa merupakan suatu ibadah yang melatih
kesabaran kita , selain itu puasa juga bisa menjaga kesehatan jasmani serta
rohani kita.
Oleh karena itu
pemakalah mencoba untuk memaparkan penjelasannya supaya kita bisa mengetahui
hukum-hukum seputar puasa baik itu bagi orang yang umum ataupun orang yang
udzur. Supaya puasa kita sesuai dengan apa
yang di sampaikan oleh Rosulullah SAW
B.
Permasalahan
·
Mengkaji pengertian puasa
·
Mengkaji macam-macam puasa dan ketentuanya
·
Puasa bagi orang sakit, ibu hamil & menyusui, dan
konsekuensinya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Puasa
Puasa secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu.
Sedangkan secara istilah, adalah menahan diri pada siang hari dari berbuka
dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit
fajar hingga terbenam matahari.
B.
Macam-Macam Puasa
dan ketentuanya
Menurut para
ahli fiqih, puasa yang ditetapkan syariat ada 4 (empat) macam, yaitu puasa
fardhu, puasa sunnat, puasa makruh dan puasa yang diharamkan.
a. Puasa Fardhu
Puasa fardhu adalah puasa yang harus
dilaksanakan berdasarkan ketentuan syariat Islam. Yang termasuk ke dalam puasa
fardhu antara lain:
1.
Puasa bulan Ramadhan
Puasa
dalam bulan Ramadhan dilakukan berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an
yang artinya sebagai berikut :
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu, agar kamu terhindar dari keburukan rohani dan jasmani (QS. Al Baqarah: 183).
2. Puasa Kafarat
Puasa
kafarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap
suatu hukum atau kelalaian dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga
mengharuskan seorang mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan, bentuk
pelanggaran dengan kafaratnya antara lain:
·
Apabila
seseorang melanggar sumpahnya dan ia tidak mampu memberi makan dan pakaian
kepada sepuluh orang miskin atau membebaskan seorang roqobah, maka ia harus
melaksanakan puasa selama tiga hari.
·
Apabila seseorang secara sengaja membunuh seorang mukmin
sedang ia tidak sanggup membayar uang darah (tebusan) atau memerdekakan roqobah
maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut (An Nisa: 94).
·
Apabila dengan sengaja membatalkan puasanya dalam bulan
Ramadhan tanpa ada halangan yang telah ditetapkan, ia harus membayar kafarat
dengan berpuasa lagi sampai genap 60 hari.
·
Barangsiapa
yang melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan umrah, lalu tidak mendapatkan
binatang kurban, maka ia harus melakukan puasa tiga hari di Mekkah dan tujuh
hari sesudah ia sampai kembali ke rumah. Demikian pula, apabila dikarenakan suatu mudharat (alasan
kesehatan dan sebagainya) maka berpangkas rambut, (tahallul) ia harus berpuasa
selama 3 hari.
3.
Puasa Nazar
Adalah puasa yang tidak diwajibkan oleh
Tuhan, begitu juga tidak disunnahkan oleh Rasulullah saw., melainkan manusia
sendiri yang telah menetapkannya bagi dirinya sendiri untuk membersihkan (Tazkiyatun
Nafs) atau mengadakan janji pada dirinya sendiri bahwa apabila Tuhan telah
menganugerahkan keberhasilan dalam suatu pekerjaan, maka ia akan berpuasa
sekian hari. Mengerjakan puasa nazar ini sifatnya wajib. Hari-hari nazar yang
ditetapkan apabila tiba, maka berpuasa pada hari-hari tersebut jadi wajib
atasnya dan apabila dia pada hari-hari itu sakit atau mengadakan perjalanan
maka ia harus mengqadha pada hari-hari lain dan apabila tengah berpuasa nazar
batal puasanya maka ia bertanggung jawab mengqadhanya.
b. Puasa Sunnat
Puasa sunnat
(nafal) adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan
apabila tidak dikerjakan tidak berdosa. Adapun puasa sunnat itu antara lain :
1.
Puasa 6 (enam) hari di bulan Syawal
Bersumber
dari Abu Ayyub Anshari r.a. sesungguhnya Rasulallah saw. bersabda: “
Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian dia menyusulkannya dengan
berpuasa enam hari pada bulan syawal , maka seakan – akan dia berpuasa selama
setahun”.
2.
Puasa Tengah bulan (13, 14, 15) dari tiap-tiap bulan
Qomariyah
Pada
suatu hari ada seorng Arabdusun datang pada Rasulullah saw. dengan membawa
kelinci yang telah dipanggang. Ketika daging kelinci itu dihidangkan pada
beliau maka beliau saw. hanya menyuruh orang-orang yang ada di sekitar beliau
saw. untuk menyantapnya, sedangkan beliau sendiri tidak ikut makan, demikian
pula ketika si arab dusun tidak ikut makan, maka beliau saw. bertanya padanya,
mengapa engkau tidak ikut makan? Jawabnya “aku sedang puasa tiga hari setiap
bulan, maka sebaiknya lakukanlah puasa di hari-hari putih setiap bulan”. “kalau
engkau bisa melakukannya puasa tiga hari setiap bulan maka sebaiknya lakukanlah
puasa di hari-hari putih yaitu pada hari ke tiga belas, empat belas dan ke lima
belas.
3.
Puasa hari Senin dan hari Kamis.
Dari
Aisyah ra. Nabi saw. memilih puasa hari senin dan hari kamis. (H.R. Turmudzi)
4.
Puasa hari
Arafah (Tanggal 9 Dzulhijjah atau Haji)
Dari Abu Qatadah, Nabi saw. bersabda:
“Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa dua tahun, satu tahun yang tekah
lalu dan satu tahun yang akan datang” (H. R. Muslim)
5.
Puasa tanggal 9 dan 10 bulan Muharam.
Dari Salim, dari ayahnya berkata: Nabi
saw. bersabda: Hari Asyuro (yakni 10 Muharram) itu jika seseorang menghendaki
puasa, maka berpuasalah pada hari itu.
6.
Puasa Nabi Daud as. (satu hari bepuasa satu hari berbuka)
Bersumber dari Abdullah bin Amar ra.
dia berkata : Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa yang
paling disukai oleh Allah swt. ialah puasa Nabi Daud as. sembahyang yang paling
d sukai oleh Allah ialah sembahyang Nabi Daud as. Dia tidur sampai tengah
malam, kemudian melakukan ibadah pada sepertiganya dan sisanya lagi dia gunakan
untuk tidur, kembali Nabi Daud berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari.”
Mengenai masalah puasa Daud ini,
apabila selang hari puasa tersebut masuk pada hari Jum’at atau dengan kata lain
masuk puasa pada hari Jum’at, hal ini dibolehkan. Karena yang dimakruhkan
adalah berpuasa pada satu hari Jum’at yang telah direncanakan hanya pada hari
itu saja.
7.
Puasa bulan Rajab, Sya’ban dan pada bulan-bulan suci
Dari
Aisyah r.a berkata: Rasulullah saw. berpuasa sehingga kami mengatakan: beliau
tidak berbuka. Dan beliau berbuka sehingga kami mengatakan: beliau tidak
berpuasa. Saya tidaklah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan puasa sebulan
kecuali Ramadhan. Dan saya tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada
puasa di bulan Sya’ban.
c. Puasa Makruh
Menurut fiqih 4 (empat) mazhab,
puasa makruh itu antara lain :
1.
Puasa pada hari Jumat secara tersendiri
Berpuasa
pada hari Jumat hukumnya makruh apabila puasa itu dilakukan secara mandiri.
Artinya, hanya mengkhususkan hari Jumat saja untuk berpuasa.
Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Saya
mendengar Nabi saw. bersabda: “Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum’at,
melainkan bersama satu hari sebelumnya atau sesudahnya.”
2.
Puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw.
beliau bersabda: “Janganlah salah seorang dari kamu mendahului bulan Ramadhan
dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka
berpuasalah hari itu.”
3.
Puasa pada hari syak (meragukan)
Dari
Shilah bin Zufar berkata: Kami berada di sisi Amar pada hari yang diragukan
Ramadhan-nya, lalu didatangkan seekor kambing, maka sebagian kaum menjauh. Maka
‘Ammar berkata: Barangsiapa yang berpuasa hari ini maka berarti dia mendurhakai
Abal Qasim saw.
d. Puasa
Haram
Puasa haram adalah puasa yang
dilarang dalam agama Islam. Puasa yang diharamkan. Puasa-puasa tersebut antara
lain:
1.
Puasa pada dua
hari raya
Dari Abu Ubaid hamba ibnu Azhar
berkata: Saya menyaksikan hari raya (yakni mengikuti shalat Ied) bersama Umar
bin Khattab r.a, lalu beliau berkata:”Ini adalah dua hari yang dilarang oleh
Rasulullah saw. Untuk mengerjakan puasa, yaitu hari kamu semua berbuka dari
puasamu (1 Syawwal) dan hari yang lain yang kamu semua makan pada hari itu,
yaitu ibadah hajimu.(HR Bukhari)
2.
Puasa seorang wanita dengan tanpa izin suami
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw.
bersabda: “Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada di rumah,
di suatu hari selain bulan Ramadhan, kecuali mendapat izin suaminya.”( HR Ibnu
Majah )
C.
Puasa bagi
orang Sakit
Kewajiban
melakukan ibadah berlaku bagi setiap mukallaf, yaitu muslim/muslimah yang telah
dewasa (baligh) dan berakal sehat (a’qil). Ketentuan ini berlaku umum bagi
dalam segala jenis ibadah. Khusus untuk puasa Ramadhan, ditambahkan ketentuan
lain, yaitu harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, dan memiliki
kemampuan fisik (ithaqah) untuk menjalankan puasa.
Semua ketentuan tersebut dalam istilah fiqih disebut sebagai
syurutl wujub (syarat wajib). Apabila salah satu dari ketentuan-ketentuan
tersebut tidak terpenuhi, maka ibadah itu tidak lagi bersifat wajib bagi yang
bersangkutan.
Dalam al-fiqhul Islami dijelaaskan beberapa hal yang bisa
memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, diantaranya adalah sakit
D.
Puasa untuk Wanita Hamil dan
Menyusui
Pada dasarnya, wanita hamil dan menyusui termasuk yang
terkena khitab perintah shaum (puasa) dalam ayat shiyam, QS. Al Baqarah: 183.
Namun, apabila mereka khawatir atas bahaya bagi dirinya atau janin dan anak
susuannya bila tetap berpuasa, maka dibolehkan untuk berbuka (tidak berpuasa).
Jadi apabila wanita hamil dan menyusui mampu melaksanakan puasa pada bulan
Ramadlan, ia wajib menunaikannya. Namun, jika tidak mampu atau takut dan
khawatir akan kesehatan dirinya, janin atau bayi yang disusuinya, ia boleh
tidak puasa. Dan ketakutan/kekhawatiran ini bukan semata angan-angan dan
anggapan belaka yang dibuat-buat, tetapi karena data dan pengalaman yang sudah-sudah,
atau berdasarkan saran dokter ahli. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ
الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah 'Azza wa
Jalla telah memberikan keringanan bagi musafir untuk tidak mengerjakan separoh
shalat. Dan memberikan keringanan bagi musafir, wanita hamil dan menyusui
untuk tidak berpuasa.” (HR.Abu Dawud)
1.
Konsenkuensi
bagi wanita hamil & menyusui
Imam Ibnu Katsir
rahimahullah dalam tafsrinya menyebutkan 4 pendapat di kalangan ulama
mengenai wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir akan
kesehatan dirinya atau anaknya. Pertama, keduanya membayar fidyah, dan mengqadla (mengganti pada
hari lain) puasanya.
Kedua, membayar fidyah saja tanpa qadla’.
Ketiga, wajib mengqadla’ tanpa membayar
fidyah.
Keempat, berbuka tanpa harus qadla’ dan
fidyah.
Syaikh Shalih
al-Fauzan dalam Al-Mulakhas al-Fiqhi (1/392) menyebutkan, bagi wanita hamil
apabila tidak mampu berpuasa dia boleh berbuka dan mengqadla’ (mengganti pada
hri lain) puasanya. Kedudukannya
seperti orang yang sakit dalam firman Allah,
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al-Baqarah: 184)
Dan bersamaan dengan qadla’ tadi,
dia wajib membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin pada setiap
harinya apabila berbukanya tadi disebabkan kekhawatiran atas bayinya. Pendapat
ini didasarkan pada fatwa Ibnu Abbas dan lainnya dari kalangan sahabat sebagaimana
yang dinukil Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad: 2/29,
“Ibnu Abbas dan
yang lainnya dari kalangan sahabat berfatwa mengenai wanita hamil dan menyusui
apabila khawatir atas anaknya: agar keduanya berbuka dan memberi makan seorang
miskin pada setiap harinya; memberi makan menempati maqam puasa.” Maknanya, menempati kedudukan
pelaksanaan puasa, dengan tetap wajib mengqadla bagi keduanya. (Al-Mulakhas
al-Fiqhi: 1/392)
Imam al-Bukhari
dalam penafsiran أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
menukil pendapat Imam al-Hasan al-Bashri Ibrahim mengenai wanita menyusui dan
hamil, apabila keduanya khawatir (takut) atas diri keduanya atau anaknya:
“Keduanya berbuka kemudian mengqadla.”
Terdapat fatwa
dari Lajnah Daimah (10/226) tentang wajibnya qadla bagi wanita hamil, “Adapun
wanita hamil, maka wajib baginya berpuasa waktu hamilnya kecuali apabila dia
khawatir bila tetap berpuasa akan membahayakan dirinya atau janinnya, maka
diberi rukhsah (keringanan) baginya untuk berbuka dan mengganti setelah
melahirkan dan suci dari nifas.”
Tentang
perintah fidyah didasarkan pada riwayat dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radliyallaahu
'anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil apabila dia khawatir terhadap
anaknya dan berpuasa sangat berat baginya, lalu beliau berkata,
تُفْطِرُ
وَتُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
“Wanita itu boleh berbuka dan
memberi makan orang miskin sebanyak satu mud setiap harinya (disebut juga
dengan fidyah).” (HR. Malik dan al-Baihaqi).
E. Berobat
saat puasa (dengan suntik atau infuse)
Suntik dan infus sama-sama memasukkan cairan ke dalam tubuh
dengan alat bantu jarum. Bedanya, suntik berisi cairan obat-obatan, sedangkan
infuse biasanya berupa nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Pada
galibnya, orang sakit tidak memiliki nafsu makan, atau karena pertimbangan
tertentu tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan menurut cara normal. Di sini,
infus menjadi sebuah solusi.
Karena perbedaan zat yang dikandung, suntik dan infus
memiliki efek yang tidak sama. Setelah diinfus, tubuh akan terasa relative
segar dan tidak lapar, meskipun juga tidak kenyang. Sementara suntik, murni
obat untuk menyembuhkan penyakit, bukan menggantikan makanan dan minuman.
Suntik dan infus dengan fungsi yang berbeda, pada hakikatnya
saling melengkapi. Penyakit susah disembuhkan jika tubuh kekurangan vitamin dan
zat-zat lain yang sangat dibutuhkan. Sementara terpenuhinya kebutuhan gizi,
tidak secara otomatis melenyapkan penyakit, tanpa ditunjang obat-obatan.
Definisi puasa yang paling praktis adalah meninggalkan
makan/minum dan berhubungan seksual. Pengertian makan dan minum dalam konteks
berpuasa, ternyata lebih luas dari sekedar memasukkan makanan dan minuman lewat
mulut. Ia mencakup masuknya benda ke dalam rongga tubuh (al-jawf) lewat organ
yang berlubang terbuka (manfadz maftuh), yaitu mulut, telinga, dubur, kemaluan,
dan hidung.
Melihat ketentuan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa
suntik tidak membatalkan puasa. Sebab proses masuknya obat tidak melalui organ
berlubang terbuka, tetapi jarum khusus yang ditancapkan ke dalam tubuh. Lagi
pula, suntik tidak menghilangkan lapar dan dahaga sam sekali.
Adapun infuse,
menurut Dr. yusuf Qardhawi dalam fatawi mu’ashirah, 324, merupakan penemuan
baru, sehingga tidak diketemukan keterangan hukumnya dari hadits, shahabat,
tabiin, dan para ulama terdahulu. Oleh karena itu, ulama kontemporer berbeda pendapat, antara
membatalkan dan tidak. Dr. Yususf Qardhawi, meskipun cenderung kepada pendapat
yang tidak membatalkan, menyarankan agar penggunaan infuse dihindari pada saat
berpuasa. Alasannya, meskipun infuse tidak mengenyangkan, tetapi cukup
menjadikan tubuh terasa relative segar.
Intinya, infuse dapat dilihat dari dua sisi, proses masuk
dan efek yang ditimbulkan. Ditinjau dari sisi pertama, infuse tidak membatalkan
puasa, seperti suntik, sebab masuknya cairan tidak melalui ogan tubuh yang
berlubang terbuka. Tetapi, melihat fakta bahwa ia berpotensi menyegarkan badan
dan menghilangkan lapar serta dahaga, kita patut bertanya: apakah menyatakan
infuse tidak membatalkan puasa tidak berlawanan dengan tujuan puasa itu
sendiri, yakni merasakan lapar dan dahaga sebagai wahana latihan mengendalikan
nafsu dan menumbuhkan empati kepada kaum mustadhafin.
Untuk
menghadapi masalah yang disangsikan hukumnya, cara paling aman adalah
meninggalkannya, sebagai diajarkan Rasulullah kaitannya dengan perkara syubhat
(tidak jelas halal haramnya). Ini
artinya, pendapat infuse membatalkan puasa lebih menerminkan sikap berhati-hati
(al-ahwath) dalam beragama. Toh orang sakit mendapat dispensasi berbuka pada
bulan puasa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Puasa secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu.
Sedangkan secara istilah, adalah menahan diri pada siang hari dari berbuka
dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit
fajar hingga terbenam matahari.
·
Puasa yang
ditetapkan syariat ada 4 (empat) macam, yaitu puasa fardhu, puasa sunnat, puasa
makruh dan puasa yang diharamkan.
·
Beberapa hal
yang bisa memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, diantaranya adalah
sakit
·
Wanita hamil dan menyusui termasuk yang terkena khitab
perintah shaum (puasa) dalam ayat shiyam, QS. Al Baqarah: 183. Namun, apabila
mereka khawatir atas bahaya bagi dirinya atau janin dan anak susuannya bila
tetap berpuasa, maka dibolehkan untuk berbuka.
B.
Saran-saran
-
Mempelajari
ilmu fiqih amatlah penting, dan seharusnya di tanamkan sejak dini bagi
seluruh pelajar islam di Indonesia, dan juga bagi orang yang bergama islam yang
masih awam, terutama mengenai bab puasa. Dengan mempelajari masilul fiqhiyah kita dapat mengetahui
hukum-hukum dari masalah tersebut.
-
Selanjutnya kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca sangat kami harapkan guna untuk memperbaiki makalah-makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Majid,
Nurcholis, 2003, Rukun Islam, Surabaya, Pustaka Visi Global,
Ø Mughniyah,
Muhammad Jawad, 1999. Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Jakarta: Lentera.
Ø Syarifuddin,
Amir, 2003, Garis-Garis Besar Fiqih, Bandung, Kencana,
Gambling at the Casino - MapYRO
BalasHapusFind casinos near you in Las Vegas. 서산 출장마사지 A map showing casinos 강원도 출장샵 and 전라북도 출장안마 other lodging near 익산 출장마사지 your favorite casino and entertainment destinations. MapYRO 청주 출장안마 Hotels.