BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai makhluk hidup tidak lepas dengan
yang namanya harta, kita bekerja sampai lupa akan waktu hanya untuk
mengumpulkan harta, padahal hakikat manusia diciptakan bukanlah hanya untuk mengejar
harta melainkan untuk beribadah kepada sang pencipta alam Semesta ini yaitu
Allah SWT.
Namun tidak dapat dipungkiri perlunya harta terkadang membutakan mata batin
kita dalam mendapatkan harta, sampai kita lupa mana yg halal dan mana pula yang
haram, maka sehubungan dengan permasalahan harta pemakalah akan sedikit
menguraikan tentang apa yang dinamakan harta itu sebenarnya.
B.
Tujuan
Penulisan
-
Memenuhi
tugas yang telah diberikan oleh dosen pembimbing
-
Menambah
khajanah ilmu pengetahuan
C.
Rumusan
masalah
-
Mengetahui
pengertian harta?
-
Mengetahui
pendapat ulama tentang definisi harta?
-
Mengetahui
manfaat harta dalam pandangan Islam?
-
Mengetahui
pengertian akad?
-
Maengetahui
pembagian akad?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Harta
Dalam bahasa arab harta disebut المال diambil dari kata مال, يميل
ميلا yang berarti
condong, cenderung dan miring. Dikatakan condong, cenderung dan miring karena
secara tabi’at, manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Dalam definisi ini Sesuatu
yang tidak dikuasai oleh manusia tidak bisa dinamakan harta seperti burung
diudara, pohon dihutan, dan barang tambang yang masih ada dibumi. Dalam Mukhtar
al-Qamus dan kamus al-Muhith, kata al-maal berarti ’apa saja yang dimiliki.
Dalam Mu’jam al-Wasith, maal itu ialah segala sesuatu yang dimiliki seseorang
atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan hewan.
Pengertian
secara etimologi diartikan segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka
pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat. Sedangakan secara
terminologi harta adalah segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat
dihadirkan pada saat diperlukan. Berbagai macam pendapat tentang pengertian harta.
B. Pendapat
Ulama Pendapat Ulama Hanafiyah
المال
كل مايمكن حيازتُه واخرازُه وينتفع به عادةً
Harta
adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan dan dapat dimanfaatkan.
Sesuatu yang layak dimiliki menurut syarat serta dapat dimanfaatkan, disimpan/dikuasai
dan bersifat konkret. Yang
dimaksud dengan layak dimiliki menurut syarat ialah sesuai dengan syari’at atau
ketentuan. Misalnya seorang muslim tidak layak memiki babi karena babi itu
haram. Yang dimaksud dengan dapat dimanfaatkan ialah bahwa
harta itu mempunyai kegunaan dan mempunyai nilai, misalnya sebutir beras itu
tidak bisa dimanfaatkan karena tidak memiliki nilai dan tidak ada kegunaannya. Yang dimaksud dengan disimpan
dan dikuasai ialah bahwa harta itu berada dalam pada orang yang memiliki harta
itu bukan pada orang lain atau sebagainya. Misalnya kayu dihutan yang tidak ada
kepemilikannya tidak disebut harta karena tidak dibawah kekuasaanya. Yang
dimaksud bersifat konkret artinya harta itu nampak dan berwujud, sesuatu yang
tidak berwujud tidak tidak disebut harta. Misalnya manfaat dari suatu benda
seperti mendiami sebuah rumah dan mengendarai kendaraan tidak disebut harta
karena manfaat itu tidak berwujud, hanya manfaat bisa dimiliki. Sehingga dalam
pandangan ulama hanafiyah yang dimaksud dengan mal ialah 4 kriteria yang telah
disebutkan tadi dan ulama hanafiyah membedakan antara hak milik dengan harta.
Sementara jumhur ulama tidak membedakannya. Ulama hanafiyah membedakan antara
Hak milik dengan harta:
1.
Hak
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya
oleh orang lain,
2.
Harta
adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan,
dalam penggunaannya bisa dicampuri orang lain. sesuatu yang digandrungi tabiat
manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan atau bisa juga harta
adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan,
dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh orang lain, maka menurut Hanafiah yang
dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud.
C. Jumhur
Ulama Selain Hanafiyah
Harta
adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang
yang merusak atau melenyapkannya.
-
Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam.
Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain
untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf
(adat).
-
Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua
macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai
harta.
-
Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam.
Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.
Dari 4 madzab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak
milik:
·
Sesuatu
itu dapat diambil manfaat
·
Sesuatu
itu mempunyai nilai ekonomi
·
Sesuatu
itu secara ’uruf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik
·
Adanya
perlindungan undang-undang yang mengaturnya.
مَايَميلُ اليهِ
الطَبْعُ وَيَجْرِى فِيه البَذْلُ وَالْمَنْعُ
Sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabi’atnya, baik
manusia itu akan memberikannya atau akan menyimpannya.
كل عينٍ ذَاتٍ قيمةٍ
مَادِّيَّةٍ مُتَدَاوِلَةٍ بَين الناسِ
Segala zat(‘ain )yang
berharga, bersifat materi yang berputar diantara manusia.
Dari definisi di atas,
terdapat perbedaan mengenai esensi harta. Oleh Jumhur Ulama dikatakan, bahwa
harta tidak saja bersifat materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatu
benda, karena yang dimaksud adalah manfaat, bukan bendanya. namun ulama hanafi
berpendapat bahwa pengertian harta hanya bersifat materi, manfaat menurut mereka
termasuk ke dalam pengertian milik. Berarti milik berbeda dengan harta.
D.
Fungsi harta dalam islam
1. Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang
khas.
2. Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah,
sebab sebuah kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran.
3. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode
berikutnya.
4. Untuk
menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5. Untuk
mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu.
BAB III
AKAD
A.
Pengertian Akad
Kata
akad berasal dari kaata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan. Dalam hukum Indonesia,
akad sama dengan perjanjian. Sebagai suatu istilah hukum
islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada akad:
1.
Akad
berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan
kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang
disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.
2.
Menurut
pendapat ulama Syafi’iyah, malikiyah dan hambaliyah, yaitu: “segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan,
atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual
beli, perwakilan, dan gadai.”
3.
Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan
oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat
hukum pada objek akad.
Akad adalah tindakan hukum
dua pihak. Sedangkan tindakan hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah,
wasiat, atau wakaf, bukanlah akad, karena
tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak, dan
karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai tindakan dua pihak
adalah pandangan ahli-ahli hukum islam modern. Pada zaman pra modern terdapat
perbedaan pendapat. Sebagian besar fukaha memang memisahkan secara tegas
kehendak sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan akad meliputi
juga kehendak sepihak.
B.
Syarat-Syarat
Akad
Syarat
dalam akad ada empat yaitu:
1. Syarat
terbentuknya akad (syuruth al-In’iqad)
Diantaranya yaitu:
a. Tamyiz
b.
Berbilang pihak (at-ta’adud)
c.
Persesuaian ijab qabul (kesepakatan)
d.
Kesatuan majelis akad
e.
Objek akad dapat diserahkan
f.
Objek akad tertentu atau dapat ditentukan
g.
Objek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda
bernilai dan dimiliki)
h.
Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara.
2. Syarat sahnya akad ( syuruth ash-shihhah)
Adalah segala sesuatu yang di syaratkan syara’ untuk menjamin dapat
keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak. Ada kekhususan syarat sah
akad pada setiap akad. Ulama hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari
enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu,
perkiraan, ada unsur kemudharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak.
3. Syarat
berlakunya akibat hukum (syuruth an-Nadz)
Dalam pelaksanaan akad, ada dua
syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang
dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktifitas dengan apa-apa yang
dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan
seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secar asli,
yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian atau menjadi wakil
seseorang dalam hal ini di syaratkan antara lain :
·
Barang
yang di jadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika di jadikan , maka
sangat bergantung pada ijin pemiliknya yang asli.
·
Barang
yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan oranglain.
4.
Syarat mengikatnya akad (syarthul-luzum)
Dasar dalam akad adalah
kepastian. Daiantara syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari
beberapa khiar jual beli, seperti khiar syarat, khiar aib dan lain sebagainya.
Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.
C.
Rukun Akad
Ulama hanafiyah berpendapat
bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut ahli-ahli hukum islam
kontemporer, unsur yang membentuk akad dan menjadi rukun akad itu ada empat,
yaitu:
1. Para
pihak yang membuat akad (al-‘aqidan)
Terkadang masing-masing pihak
terdiri dari satu orang. Terkadang terdiri dari beberapa orang.
2. Pernyataan kehendak para pihak/ijab qabul (Shighatul-
‘aqd) Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual,’’ saya telah menjual barang hal ini kepadamu.’’ Atau ‘’ saya serahkan barang ini kepadamu .’’ contoh qobul, ‘’ saya
beli barang mu.’’ Atau ‘’saya terima
barang mu’’
3. Dengan demikian ijab qabul adalah suatu perbuatan atau
pernyataan untuk menunjukan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang
atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak
berdasarkan syara’. Oleh karena itu dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan
atau perjanjian dapat di kategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang
tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat islam.
4. Objek
akad (Ma’qud- ‘aqd)
5. Adalah
benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual
beli, dll.
6. Tujuan
akad (maudhu’- al- ‘aqd)
Tujuan
atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok
akad.
Rukun yang disebutkan di atas, harus ada untuk terjadinya
akad. Kita tidak mungkin membanyangkan terciptanya suatu akad apabila tidak ada
pihak yang membuat akad, atau tidak ada pernyataan kehendak untuk berakad, atau
tidak ada objek akad, atau tidak ada tujuannya.
D.
Macam-macam
akad
1. Akad Bernama
Yang diamksud dengan akad bernama adalah akad yang sudah ditentukan namanya
oleh pembuat hukum dan ditentukan pula
ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap
akad lain. Ahli hukum klasik menyebutkan beberapa jenis akad, sehingga secara
keseluruhan akad menurut perhitungan az-zarqa’ mencapai 25 jenis akad bernama,
yaitu :
1) Jual beli (al-ba’i)
2) Sewa menyewa ( al-ijarah)
3) Penanggungan
( al-kafalah)
4) Pemindahan
uang (al-hiwayah)
5) Gadai(
ar-rahm)
6) Jual
beli opsi( bai’al-wafa)
7) Penipuan
(al-ida’)
8) Pinjam
pakai ( al-i’arah)
9) Hibah(
al-hibah)
10)Pembagian(al-qismah)’
11)Persekutuan(asy-syirkah)
12)Bagi
hasil (al-mudharabah)
13)Penggarapan
tanah (al-muzara’ah)
14)Pemeliharaan
tanaman ( al-musaqah)
15)Pemberian
kuasa (al-wakalah)
16)Arbitrase(at-tahkim)
17)Pelepasan
hak kewarisan (al-mukharajah)
18)Pinjam
mengganti ( al-qardh)
19)Pemberian
hak pakai rumah ( al-umra)
20)Penetapan
ahli waris ( al-muawalah)
21)Pemutusan
perjanjian atas kesepakatan (al-iqadah)
22)Perkawinan
( al-zawaj)
23)Wasiat (
al-washiyyah)
24)Pengangkatan
pengampu ( al-isha)
2. Akad Tak Bernama
Akad tak bernama ialah akad
yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fikih dibawah satu nama
tertentu. Dengan kata lain, akad tak bernama ialah akad yang tidak ditempuh
oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta ada pengaturan tersendiri
mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad. Akad jenis ini
dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai denga kebutuhan mereka .
kebebasan dalam membuat akad tertentu ( tidak bernama) ini termasuk ke dalam
apa yang disebut dengan kebebasan berakad. Akad tidak bernama ini timbul
selaras dengan kepentingan para dan akibat kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang. Contoh akad tak bernama adalah perjanjian penerbitan,periklanan
dans ebaginya .
3.
Akad Pokok Dan
Akad Asesoir
Dilihat dari kedudukannya, akad dibedakan menjadi akad yang pokok ( al-‘aqd
al-ashli) dan akad asesoir ( ‘al-aqd at-tab’i).
Akad pokok adalah akad yang
berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain.
Termasuk ke dalam jenis ini adalah semua kad yang keberadaannya karena dirinya
sendiri, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan
seterusnya,
Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri meliankan
tergantung kepapa suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan
tidak sahnya akad tersebut. Termasuk dalam kategiri ini
adalah penanggungan( al-kafalah) dan
akad gadai (ar-rahn). Kedua kad ini merupakan perjanjian untuk menjamin,karena
itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak ada.
4.
Akad Bertempo
Dan Akad Tidak Bertempo
Dilihat dari unsur tempo di dalam akad, akad dapat dibagi menjadi akad
bertempo ( al’aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo ( al’aqd al-fauri).
Akad bertempo adalah akad yang didalamnya ada unsur waktu merupakan unsur
asai, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam kategori ini,
misalnya sewa-menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai,akad pemberian kuasa,
akad berlangganan surat kabar dan lain sebagainya.
Akad tidak
bertempo adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian.
Akad jual beli misalnya, terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai
bagian dari akad tersebut.
Bahkan apabila jual beli dilakukan dengan hutang, sesungguhnya unsur waktu
tidak merupakan esensial, dan bila telah tiba waktu pelaksanaan, maka pelaksaaan
tersebut bersifat seketika dan pada saat itu hapuslah akad kedua belah pihak.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
-
Secara terminologi harta adalah segala sesuatu yang
digandrungi manusia dan dapat dihadirkan pada saat diperlukan. Berbagai macam pendapat
tentang pengertian harta.
-
Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam.
Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain
untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf
(adat).
-
Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua
macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai
harta.
-
Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam.
Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.
-
Kata akad berasal dari kaata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan.
Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian.
B.
Saran
Pemakalah sangat menyadari banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka dari itu kami pemakalah sangat mengharapkan kritik
dan saran dari teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Basjir,
Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Mu’amalat, Perpustakaan Fak. Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1988.
Ø Hasan,
Muhammad Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2003.
Ø
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah.PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta. 2010
Ø
Prof.DR.H.Rachmat Syafe’i,
MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia
Bandung. 2006
Ø
Prof. Dr. Syamsul Anwar,
MA. Hukum Perjanjian Syariah. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007
Ø
Prof. Dr. H. Abdul Rahman
Ghazaly, M.A. dkk. Fiqh Muamalat.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar