Cari Blog Ini

Kamis, 23 Mei 2013

Makalah Akad



BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai makhluk hidup tidak lepas dengan yang namanya harta, kita bekerja sampai lupa akan waktu hanya untuk mengumpulkan harta, padahal hakikat manusia diciptakan bukanlah hanya untuk mengejar harta melainkan untuk beribadah kepada sang pencipta alam Semesta ini yaitu Allah SWT.
Namun tidak dapat dipungkiri perlunya harta terkadang membutakan mata batin kita dalam mendapatkan harta, sampai kita lupa mana yg halal dan mana pula yang haram, maka sehubungan dengan permasalahan harta pemakalah akan sedikit menguraikan tentang apa yang dinamakan harta itu sebenarnya.
B.     Tujuan Penulisan
-          Memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pembimbing
-          Menambah khajanah ilmu pengetahuan
C.    Rumusan masalah
-          Mengetahui pengertian harta?
-          Mengetahui pendapat ulama tentang definisi harta?
-          Mengetahui manfaat harta dalam pandangan Islam?
-          Mengetahui pengertian akad?
-          Maengetahui pembagian akad?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Harta
Dalam bahasa arab harta disebut المال  diambil dari kata مال, يميل ميلا yang berarti condong, cenderung dan miring. Dikatakan condong, cenderung dan miring karena secara tabi’at, manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Dalam definisi ini Sesuatu yang tidak dikuasai oleh manusia tidak bisa dinamakan harta seperti burung diudara, pohon dihutan, dan barang tambang yang masih ada dibumi. Dalam Mukhtar al-Qamus dan kamus al-Muhith, kata al-maal berarti ’apa saja yang dimiliki. Dalam Mu’jam al-Wasith, maal itu ialah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan hewan.
Pengertian secara etimologi diartikan segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat. Sedangakan secara terminologi harta adalah segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan pada saat diperlukan. Berbagai macam pendapat tentang pengertian harta.
B.     Pendapat Ulama Pendapat Ulama Hanafiyah
المال كل مايمكن حيازتُه واخرازُه وينتفع به عادةً 
Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan dan dapat dimanfaatkan. Sesuatu yang layak dimiliki menurut syarat serta dapat dimanfaatkan, disimpan/dikuasai dan bersifat konkret. Yang dimaksud dengan layak dimiliki menurut syarat ialah sesuai dengan syari’at atau ketentuan. Misalnya seorang muslim tidak layak memiki babi karena babi itu haram. Yang dimaksud dengan dapat dimanfaatkan ialah bahwa harta itu mempunyai kegunaan dan mempunyai nilai, misalnya sebutir beras itu tidak bisa dimanfaatkan karena tidak memiliki nilai dan tidak ada kegunaannya. Yang dimaksud dengan disimpan dan dikuasai ialah bahwa harta itu berada dalam pada orang yang memiliki harta itu bukan pada orang lain atau sebagainya. Misalnya kayu dihutan yang tidak ada kepemilikannya tidak disebut harta karena tidak dibawah kekuasaanya. Yang dimaksud bersifat konkret artinya harta itu nampak dan berwujud, sesuatu yang tidak berwujud tidak tidak disebut harta. Misalnya manfaat dari suatu benda seperti mendiami sebuah rumah dan mengendarai kendaraan tidak disebut harta karena manfaat itu tidak berwujud, hanya manfaat bisa dimiliki. Sehingga dalam pandangan ulama hanafiyah yang dimaksud dengan mal ialah 4 kriteria yang telah disebutkan tadi dan ulama hanafiyah membedakan antara hak milik dengan harta. Sementara jumhur ulama tidak membedakannya. Ulama hanafiyah membedakan antara Hak milik dengan harta:
1.      Hak Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain,
2.      Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri orang lain. sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan atau bisa juga harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh orang lain, maka menurut Hanafiah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud.
C.    Jumhur Ulama Selain Hanafiyah
Harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak atau melenyapkannya.
-          Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf (adat).
-          Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai harta.
-          Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.
Dari 4 madzab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak milik:
·         Sesuatu itu dapat diambil manfaat
·         Sesuatu itu mempunyai nilai ekonomi
·         Sesuatu itu secara ’uruf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik
·         Adanya perlindungan undang-undang yang mengaturnya.
مَايَميلُ اليهِ الطَبْعُ وَيَجْرِى فِيه البَذْلُ وَالْمَنْعُ
Sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabi’atnya, baik manusia itu akan memberikannya atau akan menyimpannya.
كل عينٍ ذَاتٍ قيمةٍ مَادِّيَّةٍ مُتَدَاوِلَةٍ بَين الناسِ
Segala zat(‘ain )yang berharga, bersifat materi yang berputar diantara manusia.
Dari definisi di atas, terdapat perbedaan mengenai esensi harta. Oleh Jumhur Ulama dikatakan, bahwa harta tidak saja bersifat materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda, karena yang dimaksud adalah manfaat, bukan bendanya. namun ulama hanafi berpendapat bahwa pengertian harta hanya bersifat materi, manfaat menurut mereka termasuk ke dalam pengertian milik. Berarti milik berbeda dengan harta.
D.    Fungsi harta dalam islam
1.      Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas.
2.      Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah, sebab sebuah kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran.
3.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.
4.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
5.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu.
BAB III
AKAD
A.    Pengertian Akad
Kata akad berasal dari kaata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan. Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian. Sebagai suatu istilah hukum islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada akad:
1.            Akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.
2.            Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, malikiyah dan hambaliyah, yaitu: “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”
3.             Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.
Akad adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah akad, karena  tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak, dan karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai tindakan dua pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum islam modern. Pada zaman pra modern terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar fukaha memang memisahkan secara tegas kehendak sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan akad meliputi juga kehendak sepihak.
B.     Syarat-Syarat Akad
Syarat dalam akad ada empat yaitu:
1.      Syarat terbentuknya akad (syuruth al-In’iqad)
Diantaranya yaitu:
a.       Tamyiz
b.      Berbilang pihak (at-ta’adud)
c.       Persesuaian ijab qabul (kesepakatan)
d.      Kesatuan majelis akad
e.       Objek akad dapat diserahkan
f.       Objek akad tertentu atau dapat ditentukan
g.      Objek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki)
h.      Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara.
2.      Syarat sahnya akad ( syuruth ash-shihhah)
Adalah segala sesuatu yang di syaratkan syara’ untuk menjamin dapat keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak. Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak.
3.      Syarat berlakunya akibat hukum (syuruth an-Nadz)
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktifitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secar asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian atau menjadi wakil seseorang dalam hal ini di syaratkan antara lain :
·         Barang yang di jadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika di jadikan , maka sangat bergantung pada ijin pemiliknya yang asli.
·         Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan oranglain.
4.      Syarat mengikatnya akad (syarthul-luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Daiantara syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa khiar jual beli, seperti khiar syarat, khiar aib dan lain sebagainya. Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.
C.    Rukun Akad
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut ahli-ahli hukum islam kontemporer, unsur yang membentuk akad dan menjadi rukun akad itu ada empat, yaitu:
1.      Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidan)
Terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang. Terkadang terdiri dari beberapa orang.
2.      Pernyataan kehendak para pihak/ijab qabul (Shighatul- ‘aqd) Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual,’’ saya telah menjual barang hal ini kepadamu.’’ Atau ‘’ saya serahkan barang ini kepadamu .’’ contoh qobul,  ‘’ saya beli barang mu.’’ Atau ‘’saya terima barang mu’’
3.      Dengan demikian ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat di kategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat islam.
4.      Objek akad (Ma’qud- ‘aqd)
5.      Adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dll.
6.      Tujuan akad (maudhu’- al- ‘aqd)
Tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
Rukun yang disebutkan di atas, harus ada untuk terjadinya akad. Kita tidak mungkin membanyangkan terciptanya suatu akad apabila tidak ada pihak yang membuat akad, atau tidak ada pernyataan kehendak untuk berakad, atau tidak ada objek akad, atau tidak ada tujuannya.
D.    Macam-macam akad
1.      Akad Bernama
Yang diamksud dengan akad bernama adalah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan  pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Ahli hukum klasik menyebutkan beberapa jenis akad, sehingga secara keseluruhan akad menurut perhitungan az-zarqa’ mencapai 25 jenis akad bernama, yaitu :
1)    Jual beli (al-ba’i)
2)    Sewa menyewa ( al-ijarah)
3)    Penanggungan ( al-kafalah)
4)    Pemindahan uang (al-hiwayah)
5)    Gadai( ar-rahm)
6)    Jual beli opsi( bai’al-wafa)
7)    Penipuan (al-ida’)
8)    Pinjam pakai ( al-i’arah)
9)    Hibah( al-hibah)
10)Pembagian(al-qismah)’
11)Persekutuan(asy-syirkah)
12)Bagi hasil (al-mudharabah)
13)Penggarapan tanah (al-muzara’ah)
14)Pemeliharaan tanaman ( al-musaqah)
15)Pemberian kuasa (al-wakalah)
16)Arbitrase(at-tahkim)
17)Pelepasan hak kewarisan (al-mukharajah)
18)Pinjam mengganti ( al-qardh)
19)Pemberian hak pakai rumah ( al-umra)
20)Penetapan ahli waris ( al-muawalah)
21)Pemutusan perjanjian atas kesepakatan (al-iqadah)
22)Perkawinan ( al-zawaj)
23)Wasiat ( al-washiyyah)
24)Pengangkatan pengampu ( al-isha)
2.      Akad Tak Bernama
Akad tak bernama ialah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fikih dibawah satu nama tertentu. Dengan kata lain, akad tak bernama ialah akad yang tidak ditempuh oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta ada pengaturan tersendiri mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai denga kebutuhan mereka . kebebasan dalam membuat akad tertentu ( tidak bernama) ini termasuk ke dalam apa yang disebut dengan kebebasan berakad. Akad tidak bernama ini timbul selaras dengan kepentingan para dan akibat kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Contoh akad tak bernama adalah perjanjian penerbitan,periklanan dans ebaginya .
3.      Akad Pokok Dan Akad Asesoir
Dilihat dari kedudukannya, akad dibedakan menjadi akad yang pokok ( al-‘aqd al-ashli) dan akad asesoir ( ‘al-aqd at-tab’i).
Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini adalah semua kad yang keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya,
Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri meliankan tergantung kepapa suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut.  Termasuk dalam kategiri ini adalah  penanggungan( al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn). Kedua kad ini merupakan perjanjian untuk menjamin,karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak ada.
4.      Akad Bertempo Dan Akad Tidak Bertempo
Dilihat dari unsur tempo di dalam akad, akad dapat dibagi menjadi akad bertempo ( al’aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo ( al’aqd al-fauri).
Akad bertempo adalah akad yang didalamnya ada unsur waktu merupakan unsur asai, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam kategori ini, misalnya sewa-menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai,akad pemberian kuasa, akad berlangganan surat kabar dan lain sebagainya.
Akad tidak bertempo adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli misalnya, terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
Bahkan apabila jual beli dilakukan dengan hutang, sesungguhnya unsur waktu tidak merupakan esensial, dan bila telah tiba waktu pelaksanaan, maka pelaksaaan tersebut bersifat seketika dan pada saat itu hapuslah akad kedua belah pihak.














BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-         Secara terminologi harta adalah segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan pada saat diperlukan. Berbagai macam pendapat tentang pengertian harta.
-          Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf (adat).
-          Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai harta.
-          Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.
-          Kata akad berasal dari kaata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan. Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian.
B.     Saran
Pemakalah sangat menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu kami pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran dari teman semua.






DAFTAR PUSTAKA
Ø  Basjir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Mu’amalat, Perpustakaan Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1988.
Ø  Hasan, Muhammad Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
Ø  Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2010
Ø  Prof.DR.H.Rachmat Syafe’i, MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung. 2006
Ø  Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA. Hukum Perjanjian Syariah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007
Ø  Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A. dkk. Fiqh Muamalat. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar