BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Agama Islam sangat erat sekali kaitannya dengan
pendidikan pada umumnya. Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan
ketaqwaan anak didik terhadap Allah SWT. dan mempertinggi nilai-nilai akhlak
hingga mencapai akhlakul karimah. Adapun tujuan utamanya
adalah pembentukan akhlak yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral,
berjiwa bersih, berkemauan keras, bercita-cita benar, dan berakhlak mulia.
Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai faktor kunci
dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang menurut pandangan Islam berfungsi
menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di dunia
dan akhirat.
Kehidupan manusia melalui beberapa tahap perkembangan, diantaranya
adalah masa anak usia dini. Telah diakui oleh banyak ahli, masa anak usia dini
merupakan golden age bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses
pendidikan yang optimal. Disitulah peran Pendidikan Agama Islam muncul, yakni
menciptakan generasi-generasi muslim yang hebat dan bermanfaat bagi umat. Dalam
arti, generasi yang tidak hanya cerdas intelektual tapi juga cerdas dari sisi
sosial, emosi, dan spiritual. Peran tersebut dapat berhasil, jika dari usia
dini telah ditanamkan nilai-nilai pendidikan Islami pada diri anak.
B. Tujuan Penulisan
Ada pun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
-
Memenuhi
tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing
-
Menambah
khajanah ilmu pengetahuan
C.
Rumusan
Masalah
-
Mengetahui
pertumbuhan agama pada anak-anak
-
Mengetahui
perkembangan agama pada anak
-
Mengetahui
sifat-sifat agama pada anak
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pertumbuhan Agama Pada Anak-Anak
Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya
dulu. Seorang yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama,
maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam
hidupnya. Lain halnya orang yang pada masa kecilnya mempunyai
pengalaman-pengalaman agama, misal ibu bapaknya orang yang tahuberagama,
lingkungan sosial dan kawan-kawannya mengenal agama, ditambah pula dengan
pendidikan agama, secara sengaja dirumah, sekolah dan masyarakat. Maka orang
itu dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan agama,
terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan agama dan dapat
merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.
Dalam hal ini akan kita bicarakan bagaiman
timbulnya kepercayaan agama pada anak-anak, apa faktor-fakttor yang
mempengaruhi dan perkebangannya.
a. Bagaimana sianak
mengenak Tuhan?
Anak-anak mulai mengenal tuhan, melalui
bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada permulaan
diterimanya secara acuh saja. Tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa
menunjukan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit
gelisah dan ragu terhadap sesuatu yang gaib yang tidak dapat dilihatnya itu,
mungkin ia mulai ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang
tuanya. Lambat-laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan
dalam pembinaan kepribadiaannya dan manjadi objek pengalaman agamais. Maka
Tuhan permulaan pada anak-anak, adalah nama dari sesuatu yang asing, yang tidak
dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap
Tuhan pada permulaan, kerana dia belum mempunyai pengalaman yang menyenangkan,
atau pun yang menyusahkan. Akan tetapi setelah ia menyaksikan orang-orang
disekelilingnya, yang disertai oleh emosi dan perasaan tentunya, maka timbullah
pengalaman tertentu yang makin lama semakin meluas dan mulailah perhatiannya
terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Biasanya pengalaman itu mulanya tidak
menyenangkan karena merupakan ancaman bagi integritas keperibadiannya, maka
karena itu lah perhatian anak tentang tuhan pada permulaan adalah sumber
kegelisahan atau ketidak senangannya.
Sesungguhnya kekaguman dan penghargaan
terhadap bapaknya adalah penting untuk pembinaan jiwa, moral dan fikiran,
sampai umur kurang lebih 5 tahun, dan inilah bibit yang akan menumbuhkan
kepercayaan kepada Allah dalam masyarakat beragama.
b.
Pentingnya hubungan anak dengan orang tua
Karena orang tua adalah pusat kehidupan
rohani si anak sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap
reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh oleh sikapnya
terhadap orang tuanya dipermulaan hidupnya yang terdahulu.
Perasaan anak terhadap orang tuanya,
sebanarnya kompleks, ia adalah campuran dari bermacam-macam emosi dan dorongan
yang selalu inter-aksi pertentangan dan memumcak pada umur menjelang 3 tahun,
yaitu umur dimana hubungannya dengan ibunya tidak lagi terbatas hanya kebutuhan
bantuan fisik, akan tetapi meningkat kepada hubungan emosi, dimana ibu menjadi
objek yang dicintia dan butuh akan kasih sayangnya, takut akan terjauh dari
padanya atau takut kehilangan kasih sayangnya. Bahkan juga mengundang rasa
permusuhanbercampur bangga, butuh takut dan cinta kepadanya sekaligus.
Disinilah timbul rasa dosa yang bukan disebabkan oleh kesalahan yang diperbuat,
akan tetapi karena timbulnya rasa keinginan untuk melakukan yang terlarang.
Maka untuk menyelamatkan diri dari
pertentangan batin itu itu si anak mengambil sifat-sifat keperibadian bapaknya
atau ibunya untuk dirinya. Dengan demikian sebagian dari kekuatan luar
berpindah kedalam dirinya yang akan menjadi pengawas dari keinginan dan
dorongan yang terlarang, maka dari itu ia mancari keredlaannya.
c.
Pembinaan pribadi pada anak
Setiap orang tua dan guru ingin membina
anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan mental
yang sehat dan akhlak yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui
pendidikan, baik yang formil maupun yang informil. Setiap pengalaman yang
dilalui anak, bak melalui pendengaran, penglihatan, maupun perilaku yang
diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Hubungan orang tua sesama mereka sangat
mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak, hubungan yang serasi, penuh pengertian dan
kasih sayang, akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan
mudah dididik, kerena dia mendapatkan kesempatan yang cukup dan baik untuk
bertumbuh dan berkembang.
d.
Pembiasaan pendidikan pada anak
Hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa
dalam pembinaan pribadi pada anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan yang
cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan itu
akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat-laun sikap itu akan
bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak akan tergoyahkan lagi, karena telah
masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Pembentukan sikap, pembentukan moral dan
pribadi pada umumnya, terjadi melaui pengalaman sejak kecil. Pendidik/pembina
pertama adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak
waktu kecilnya, akan merupakan unsur penting dalam pribadinya. Sikap anak pada
agama dibentuk pertama kalinya dirumah melalui pengalaman yang didapatnya
dengan orang tuanya, kemudian disempurnakan atau diperbaiki oleh guru
disekolah, terutama guru yang disayanginya.
B.
Perkembangan Agama Pada Anak
Menurut penelitian Ernest Harmas perkembangan
agama pada anak itu melalui beberapa pase (tingkatan). Dalam bukunya “The
Development of Religious on Chirldren” ia mengatakan bahwa perkembangan
agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu:
1. The Fairy Tale
Stage (tingkatan dongeng)
Tingakatan ini dimulai pada anak berusia
3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai tuhan lebih banyak depengeruhi
fantasi dan emosi. Tingkat perkembanagan ini seakan-akan anak itu menghayati
konsep ke Tuhanan itu kurang masuk akal, sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualannya. Kehidupan pada masa ini banyak dipengeruhi oleh kehidupan
fantasi hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konsep
fantastis yang meliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Reslistic
Stage (tingkatan
Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai semenjak anak masuk
Sekolah Dasar hingga sampai kepada usia adolesense.
Pada masa ini ide ketuhanan anak
sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan. Konsep ini
timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa
lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas emosional, maka pada
masa itu mereka telah melahirkan konsep tuhan yang formalis. Bedasarkan hal itu
maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang
merekan lihat dikerjakan oleh orang dewasa dalam lingkungan masyarakat. Segala
bentuk tindak keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajarinya.
3. The Induvidual
Stage (Tingkatan
Induvidu)
Pada tingkatan ini anak telah memiliki
kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan usia mereka. Konsep keagamaan
yang induvidualistik ini terbagi atas tiga golongan yaitu:
a. Konsep Ketuhanan yang
convensial dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian fantasi. Hal tersebut
disebabkan oleh pengaruh luar.
b. Konsep ketuhanan yang
lebih murni dengan dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal.
c.
Konsep ketuhanan yang bersifat Humanistik. Agama
menjadi ethos humanis dalam diri mereka menghayat ajaran agama. Perubahan ini
setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern yaitu perkembangan usia dan
faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialami.
Sebagai makhluk
ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia
dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan mengabdi kepada Sang Pencipta. Dalam
terminologi Islam, dorongan ini dekenal dengan Bidayah aldiniyyat, berupa
benih-benih keberagamaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya
potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama.
Kajian
entropologi budaya telah membuktikan ini. Edward B. Taylor menyebutnya dengan
istilah Belive in spiritual being (kepercayaan kepada zat adikodrati).
Menurut pendapatnya, doronganini merupakan cikal bakal tumbuhnya kepercayaan
atau agama pada manusia. Dalam pengamatan lapangan yang telah dilakukannya,
pakar antorpologi seperti ini menemukan kenyataan seperti itu pada suku-suku
primitif (yang masih budaya asli). Berangkat dari kemampuan berpikir
yang anthromophistis, maka zat adikordati itu mereka wujudkan dalam bentuk
benda kongkrit, seperti patung dan benda alam lainnya.
C.
Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti
memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki,
maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on
outboroty. ide keagaman pada anak hampir sepenuhnya autorotarius,
maksudnya, konsep keagamaan pada diri mereka dipangaruhi faktor dari luar diri
mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat
dan mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Mereka telah melihat
dan mengikuti apa yang dikerjakan dan keajarkan oleh orang dewasa dan orang tua
merekan tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua
mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip ekploritasi yang merekan
miliki. Dengan demikian kekuatan pelajaran keagamaan merupakan kebiasaan yang
meraka miliki yang mereka pelajari baik dari orng tua maupun dari guru mereka.
Baagi mereka sangat mudah menerima ajaran bermanfaat tersebut. Berdasarkan hal
itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.
Unreflective (Tidak Mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep
ke-Tuhanan pada diri anak, 73% mereka menganggap tuhan itu bersifat seperti
manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa
Klaus memotong jenggotnya untuk
membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap agama dapat saja
mereka terima tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam,
sehingga cukup sekedarnya saja sehingga mereka sudah merasa puas dengan
keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada
beberapa anak memiliki ketajaman pemikiran untuk menimbang pendapat yang mereka
terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan dua contoh
tentang hal itu:
a.
Suatu pristiwa seorang anak mendapat keterangan
dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya. Kebetulan
seorang anak lalu di depan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik kepada sebuah
topi yang berbentuk kerucut, sekembalinya kerumah, ia berdoa kepada Tuhan untuk
apa yang di inginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka ibunya
pun menegur. Ibunya menegur bahwa dalam doa tidak boleh seseorang memaksakan
Tuhan untuk mengabulkan apa yang diinginkannya itu. Mendengar hal itu anak tadi
langsung mengemukakan sebuah pertanyaan “mengapa”?
b.
Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa
yang dapat menggerakan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka
pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan
memindahkan gunung-gunung yang ada didaerah Washington ke laut. Kerena
keinginannya itu tidak terwujud, maka semenjak itu dia tidak mau lagi berdoa.
Dan contoh di
atas menunjukan bahwa anak itu sudah menunjukan pemikiran kritis, walaupun
bersifat sederhana. Menurut penelitian pikiran kritis baru timbul pada usia 12
tahun sejalan dengan pertumbuhan modal. Di usia tersebut, bahkan anak kurang
cerdas pun menunjukan pemikiran yang korektif. Di sini menunjukan bahwa anak
meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat konkrit.
2.
Egosentris
Anak memiliki kesadaran diri sendiri sejak tahun
pertama usia perkembanganya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu melai subur pada diri anak,
makan akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin
meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan
anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan
yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seoran anak yang kurang
mendapat kasih sayang selalu mendapat tekanan akan bersifat kekanak-kanakan dan
memiliki sifat ego yang rendah. Hal demikian menggangu pertumbuhan
keagamaannya.
3.
Anthomorphis
Pada umumnya, konsep mengenai ketuhanan pada anak
berasal dari pengalamannya kala ia tumbuh berkembang dengan orang lain. Tapi
suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan
aspek-aspek kemanusiaan.
Memalui konsep yang terbentuk dalam pikiran,
mereka meanggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan
tuhan yang mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu
berada dalam tempat gelap.
Surga terletak di langit dan untuk tempat orang
yang baik. Anak meanggap bahwa tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung
kerumah-rumah meraka layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun,
menurut penilitian Praff, pandangan anak terhadap Tuhan adalah sebagai berikut:
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinga
lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk
sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
4.
Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alamai ternayata,
kehidupan agama pada anak-anak sebagian tumbuh mula-mula secara verbal
(ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain
itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaan menurut
tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu, kedua hal tersebut tidak
ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa selanjutnya, tetapi
menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama
anak itu di usia dewasa. Bukti menunjukan bahwa banyak orang dewasa yang taat
kerena pengaruh ajaran dan praktik keagamaan yang dilaksanakan pada masa
kanak-kanak mereka. Sebaliknya, belajar agama pada masa dewasa banyak mengalami
kesukaran. Latihan-latihan yang bersifat berbalis dan upacara keagamaan yang
bersifat ritualis merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari
tingkat perkembangan agama pada anak-anaknya.
5.
Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat saksikan
bahwa tindak keagamaan yang dilakukan anak-anak pada dasarnya diperoleh oleh
meniru. Berdoa dan shalat misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat
perbuatan dilingkungan, baik berupa pengajaran atau pun kebiasaan yang bersifat
intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal bahwa anak adalah
peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam
pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap
sejumlah mahasiswa disalah saru perguruan tnggi menunjukan, bahwa anak yang
tidak mendapa pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat diharapkan menjadi
pemilik kematangan agama yang kekal.
6.
Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat
keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda rasa kagum yang ada pada orang
dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka
hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah
pertama dari pernyaan kebutuhan anak akan dorongan anak untuk mengenal sesuatu
yang baru. Rasa kagum mereka dapat
disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Keagamaan seseorang dapat ditentukan dari
pendidikan, lingkungan dan latihan-latihan.
-
Perkembangan anak melewati tiga pase:
1.
The Fairy Tale Stage (tingkatan dongeng)
2.
The Reslistic Stage (tingkatan Kenyataan)
3.
The Induvidual Stage (Tingkatan Induvidu)
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Prof. Dr. H. Jalaluddin Psikologi Agama, PT:
RajaGrafindo Persada, Jakarta 2004.
Ø
Prof. Dr. Ramayulis dkk. Pengantar Ilmu Jiwa
Agama, Kalam Mulia, Jakarta Pusat
Ø
Prof. Dr. Zakiah Daradjad, PT: Bulan Bintang,
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar