Cari Blog Ini

Minggu, 26 Mei 2013

Pendidikan Agama Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan Agama Islam sangat erat sekali kaitannya dengan pendidikan pada umumnya. Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan anak didik terhadap Allah SWT. dan mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlakul karimah. Adapun tujuan utamanya adalah pembentukan akhlak yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, berjiwa bersih, berkemauan keras, bercita-cita benar, dan berakhlak mulia. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang menurut pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan akhirat.
Kehidupan manusia melalui beberapa tahap perkembangan, diantaranya adalah masa anak usia dini. Telah diakui oleh banyak ahli, masa anak usia dini merupakan golden age bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan yang optimal. Disitulah peran Pendidikan Agama Islam muncul, yakni menciptakan generasi-generasi muslim yang hebat dan bermanfaat bagi umat. Dalam arti, generasi yang tidak hanya cerdas intelektual tapi juga cerdas dari sisi sosial, emosi, dan spiritual. Peran tersebut dapat berhasil, jika dari usia dini telah ditanamkan nilai-nilai pendidikan Islami pada diri anak.
B.     Tujuan Penulisan
Ada pun tujuan penulisan makalah ini adalah:
-          Memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing
-          Menambah khajanah ilmu pengetahuan
C.    Rumusan Masalah
-          Mengetahui pertumbuhan agama pada anak-anak
-          Mengetahui perkembangan agama pada anak
-          Mengetahui sifat-sifat agama pada anak
BAB I
PEMBAHASAN
A.    Pertumbuhan Agama Pada Anak-Anak
Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Seorang yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya orang yang pada masa kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman agama, misal ibu bapaknya orang yang tahuberagama, lingkungan sosial dan kawan-kawannya mengenal agama, ditambah pula dengan pendidikan agama, secara sengaja dirumah, sekolah dan masyarakat. Maka orang itu dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.
Dalam hal ini akan kita bicarakan bagaiman timbulnya kepercayaan agama pada anak-anak, apa faktor-fakttor yang mempengaruhi dan perkebangannya.
a.       Bagaimana sianak mengenak Tuhan?
Anak-anak mulai mengenal tuhan, melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada permulaan diterimanya secara acuh saja. Tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu terhadap sesuatu yang gaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia mulai ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang tuanya. Lambat-laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiaannya dan manjadi objek pengalaman agamais. Maka Tuhan permulaan pada anak-anak, adalah nama dari sesuatu yang asing, yang tidak dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada permulaan, kerana dia belum mempunyai pengalaman yang menyenangkan, atau pun yang menyusahkan. Akan tetapi setelah ia menyaksikan orang-orang disekelilingnya, yang disertai oleh emosi dan perasaan tentunya, maka timbullah pengalaman tertentu yang makin lama semakin meluas dan mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Biasanya pengalaman itu mulanya tidak menyenangkan karena merupakan ancaman bagi integritas keperibadiannya, maka karena itu lah perhatian anak tentang tuhan pada permulaan adalah sumber kegelisahan atau ketidak senangannya.
Sesungguhnya kekaguman dan penghargaan terhadap bapaknya adalah penting untuk pembinaan jiwa, moral dan fikiran, sampai umur kurang lebih 5 tahun, dan inilah bibit yang akan menumbuhkan kepercayaan kepada Allah dalam masyarakat beragama.
b.      Pentingnya hubungan anak dengan orang tua
Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya dipermulaan hidupnya yang terdahulu.
Perasaan anak terhadap orang tuanya, sebanarnya kompleks, ia adalah campuran dari bermacam-macam emosi dan dorongan yang selalu inter-aksi pertentangan dan memumcak pada umur menjelang 3 tahun, yaitu umur dimana hubungannya dengan ibunya tidak lagi terbatas hanya kebutuhan bantuan fisik, akan tetapi meningkat kepada hubungan emosi, dimana ibu menjadi objek yang dicintia dan butuh akan kasih sayangnya, takut akan terjauh dari padanya atau takut kehilangan kasih sayangnya. Bahkan juga mengundang rasa permusuhanbercampur bangga, butuh takut dan cinta kepadanya sekaligus. Disinilah timbul rasa dosa yang bukan disebabkan oleh kesalahan yang diperbuat, akan tetapi karena timbulnya rasa keinginan untuk melakukan yang terlarang.
Maka untuk menyelamatkan diri dari pertentangan batin itu itu si anak mengambil sifat-sifat keperibadian bapaknya atau ibunya untuk dirinya. Dengan demikian sebagian dari kekuatan luar berpindah kedalam dirinya yang akan menjadi pengawas dari keinginan dan dorongan yang terlarang, maka dari itu ia mancari keredlaannya.
c.       Pembinaan pribadi pada anak
Setiap orang tua dan guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan mental yang sehat dan akhlak yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formil maupun yang informil. Setiap pengalaman yang dilalui anak, bak melalui pendengaran, penglihatan, maupun perilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Hubungan orang tua sesama mereka sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak, hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang, akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, kerena dia mendapatkan kesempatan yang cukup dan baik untuk bertumbuh dan berkembang.
d.      Pembiasaan pendidikan pada anak
Hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi pada anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan itu akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat-laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak akan tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Pembentukan sikap, pembentukan moral dan pribadi pada umumnya, terjadi melaui pengalaman sejak kecil. Pendidik/pembina pertama adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak waktu kecilnya, akan merupakan unsur penting dalam pribadinya. Sikap anak pada agama dibentuk pertama kalinya dirumah melalui pengalaman yang didapatnya dengan orang tuanya, kemudian disempurnakan atau diperbaiki oleh guru disekolah, terutama guru yang disayanginya.
B.     Perkembangan Agama Pada Anak
Menurut penelitian Ernest Harmas perkembangan agama pada anak itu melalui beberapa pase (tingkatan). Dalam bukunya “The Development of Religious on Chirldren” ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu:
1.      The Fairy Tale Stage (tingkatan dongeng)
Tingakatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai tuhan lebih banyak depengeruhi fantasi dan emosi. Tingkat perkembanagan ini seakan-akan anak itu menghayati konsep ke Tuhanan itu kurang masuk akal, sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualannya. Kehidupan pada masa ini banyak dipengeruhi oleh kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konsep fantastis yang meliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.      The Reslistic Stage (tingkatan Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai semenjak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai kepada usia  adolesense.  Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan. Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas emosional, maka pada masa itu mereka telah melahirkan konsep tuhan yang formalis. Bedasarkan hal itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang merekan lihat dikerjakan oleh orang dewasa dalam lingkungan masyarakat. Segala bentuk tindak keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajarinya.
3.      The Induvidual Stage (Tingkatan Induvidu)
Pada tingkatan ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan usia mereka. Konsep keagamaan yang induvidualistik ini terbagi atas tiga golongan yaitu:
a.       Konsep Ketuhanan yang convensial dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b.      Konsep ketuhanan yang lebih murni dengan dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal.
c.       Konsep ketuhanan yang bersifat Humanistik. Agama menjadi ethos humanis dalam diri mereka menghayat ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialami.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan mengabdi kepada Sang Pencipta. Dalam terminologi Islam, dorongan ini dekenal dengan Bidayah aldiniyyat, berupa benih-benih keberagamaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama.
Kajian entropologi budaya telah membuktikan ini. Edward B. Taylor menyebutnya dengan istilah Belive in spiritual being (kepercayaan kepada zat adikodrati). Menurut pendapatnya, doronganini merupakan cikal bakal tumbuhnya kepercayaan atau agama pada manusia. Dalam pengamatan lapangan yang telah dilakukannya, pakar antorpologi seperti ini menemukan kenyataan seperti itu pada suku-suku primitif (yang masih budaya asli). Berangkat dari kemampuan berpikir yang anthromophistis, maka zat adikordati itu mereka wujudkan dalam bentuk benda kongkrit, seperti patung dan benda alam lainnya.
C.    Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outboroty. ide keagaman pada anak hampir sepenuhnya autorotarius, maksudnya, konsep keagamaan pada diri mereka dipangaruhi faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang dikerjakan dan keajarkan oleh orang dewasa dan orang tua merekan tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip ekploritasi yang merekan miliki. Dengan demikian kekuatan pelajaran keagamaan merupakan kebiasaan yang meraka miliki yang mereka pelajari baik dari orng tua maupun dari guru mereka. Baagi mereka sangat mudah menerima ajaran bermanfaat tersebut. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.      Unreflective (Tidak Mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak, 73% mereka menganggap tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus  memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap agama dapat saja mereka terima tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja sehingga mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pemikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu:
a.       Suatu pristiwa seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya. Kebetulan seorang anak lalu di depan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik kepada sebuah topi yang berbentuk kerucut, sekembalinya kerumah, ia berdoa kepada Tuhan untuk apa yang di inginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka ibunya pun menegur. Ibunya menegur bahwa dalam doa tidak boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan apa yang diinginkannya itu. Mendengar hal itu anak tadi langsung mengemukakan sebuah pertanyaan “mengapa”?
b.      Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada didaerah Washington ke laut. Kerena keinginannya itu tidak terwujud, maka semenjak itu dia tidak mau lagi berdoa.
Dan contoh di atas menunjukan bahwa anak itu sudah menunjukan pemikiran kritis, walaupun bersifat sederhana. Menurut penelitian pikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan modal. Di usia tersebut, bahkan anak kurang cerdas pun menunjukan pemikiran yang korektif. Di sini menunjukan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat konkrit.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembanganya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu melai subur pada diri anak, makan akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seoran anak yang kurang mendapat kasih sayang selalu mendapat tekanan akan bersifat kekanak-kanakan dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal demikian menggangu pertumbuhan keagamaannya.
3.      Anthomorphis
Pada umumnya, konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari pengalamannya kala ia tumbuh berkembang dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Memalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka meanggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan tuhan yang mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat gelap.
Surga terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak meanggap bahwa tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung kerumah-rumah meraka layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun, menurut penilitian Praff, pandangan anak terhadap Tuhan adalah sebagai berikut:
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinga lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
4.      Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alamai ternayata, kehidupan agama pada anak-anak sebagian tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaan menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu, kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa selanjutnya, tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasa. Bukti menunjukan bahwa banyak orang dewasa yang taat kerena pengaruh ajaran dan praktik keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak-kanak mereka. Sebaliknya, belajar agama pada masa dewasa banyak mengalami kesukaran. Latihan-latihan yang bersifat berbalis dan upacara keagamaan yang bersifat ritualis merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anaknya.
5.      Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan anak-anak pada dasarnya diperoleh oleh meniru. Berdoa dan shalat misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan dilingkungan, baik berupa pengajaran atau pun kebiasaan yang bersifat intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal bahwa anak adalah peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa disalah saru perguruan tnggi menunjukan, bahwa anak yang tidak mendapa pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang kekal.
6.      Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyaan kebutuhan anak akan dorongan anak untuk mengenal sesuatu yang baru.  Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-          Keagamaan seseorang dapat ditentukan dari pendidikan, lingkungan dan latihan-latihan.
-          Perkembangan anak melewati tiga pase:
1.      The Fairy Tale Stage (tingkatan dongeng)
2.      The Reslistic Stage (tingkatan Kenyataan)
3.                  The Induvidual Stage (Tingkatan Induvidu)




DAFTAR PUSTAKA
Ø  Prof. Dr. H. Jalaluddin Psikologi Agama, PT: RajaGrafindo Persada, Jakarta 2004.
Ø  Prof. Dr. Ramayulis dkk. Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Kalam Mulia, Jakarta Pusat
Ø  Prof. Dr. Zakiah Daradjad, PT: Bulan Bintang, Jakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar