Hukum
Operasi Sesar
Banyak alasan seseorang melakukan
bedah sesar pada kelahiran bayinya. Bisa karena alasan medis; bayi kembar, bayi
terlalu besar, habis ketuban dan lain sebagainya. Atau alasan estetika, agar
organ kewanitaan tetap utuh, atau sekadar ingin menentukan tanggal tertentu
bagi buah hati.
Motif atau alasan ini akan
berpengaruh pada hukum melakukan operasi sesar. Secara definitif, operasi
Sesar(Jirahah al-Wiladah)adalah operasi yang bertujuan mengeluarkan bayi
dari perut ibu, baik itu terjadi sebelum atau setelah sempurnanya bentuk bayi.(Dr.
Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, hlm: 154).Dari
segi teknis, operasi sesar adalah proses mengeluarkan janin dengan cara
mengiris dinding perut, tentunya dengan metode sesuai ilmu medis.
Adapun hukumnya mengacu pada alasan
riil mengapa operasi sesar dilakukan.
Pertama: Keadaan Darurat. Maksudnya
adanya kekhawatiran nyawa ibu, bayi, atau kedua-duanya terancam. Kondisi
darurat memiliki beberapa bentuk:
(1) kondisi ibu yang mengalami eklampsia
atau kejang dalam kehamilan, mempunyai penyakit jantung, persalinan tiba-tiba
macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam rahim, dan dinding
rahimnya yang menipis akibat bedah caesar atau operasi rahim sebelumnya.
(2) operasi Sesar untuk
menyelamatkan nyawa bayi.Misalnya, ibu sudah meninggal, tapi bayi yang berada
di dalam kandungannya masih hidup. Dalam kasus ini,para ulama berbeda pendapat:
(3) Operasi Sesar untuk
menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan adalah ketika terjadi air
ketuban pecah, namun belum ada kontraksi, bayi terlilit tali pusar sehingga
tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum matang (prematur), posisi
bayi sungsang, dan lain-lain.
Dalam tiga keadaan di atas, menurut
pendapat yang benar, dibolehkan dilakukan operasi sesar untuk menyelamatkan
jiwa ibu dan anak . Dalil-dalilnya sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah SWT:
“Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya.”(Qs Al Maidah: 32)
Ibnu Hazm berkata: “Jika seorang ibu
yang hamil meninggal dunia, sedangkan bayinya masih hidup dan bergerak dan
sudah berumur enam bulan, maka dilakukan pembedaan pada perutnya dengan
memanjang untuk mengeluarkanbayi tersebut, ini berdasarkan firman Allah (Qs.
5: 32), dan barang siapa membiarkannya bayi tersebut di dalam sampai mati,
maka orang tersebut dikatagorikan pembunuh.”(Ibnu Hazm, al-Muhalla, 5/ 166)
Kedua: Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi:
“Suatu bahaya itu harus
dihilangkan”(As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, hlm: 87)
Keberadaan bayi di dalam perut
ibunya yang sudah mati merupakan bahaya yang menimpa bayi tersebut, maka
menurut kaidah di atas, bahaya itu harus dihilangkan darinya, yaitu dengan
melakukan pembedahan.
Ketiga: Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi:
“Jika terjadi pertentangan antara
dua kerusakan, maka diambil yang paling ringan kerusakannya”(Ibnu Nujaim, al-Asybah wa an-Nadhair, hlm: 97)
Keterangan dari kaidah di atas bahwa
operasi sesar dalam keadaan darurat terdapat dua kerusakan, yang pertama adalah
terancamnya jiwa ibu atau anak, sedangkan kerusakan yang kedua adalah
dibedahnya perut ibu. Dari dua kerusakan tersebut, maka yang paling ringan
adalah dibedahnya perut ibu, maka tindakan ini diambil untuk menghindari
kerusakan yang lebih besar, yaitu terancamnya jiwa ibu dan anak.
Kedua: Keadaan Hajiyat
Keadaan Hajiyat dalam operasi sesar
adalah adanya kekhawatiran terjadinya bahaya atau sesuatu yang buruk yang akan
menimpa ibu, atau bayi, atau keduanya, tetapi bahaya ini tidak sampai pada
terancamnya jiwa ibu atau anak. Seperti halnya jikalingkar rongga panggul yang
lebih kecil dari ukuran janin, sehingga akan kesulitan ketika melahirkan secara
alami, usia ibu yang terlalu tua, kelainan letak plasenta, ukuran bayi terlalu
besar atau terjadi bayi kembar.
Dalam keadaan hajiyat ini, operasi
sesar boleh dilakukan, karena hajiyat kadang sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
sehingga sebagian ulama menyamakan kedudukannya dengan darurat.Oleh karenanya,
mereka meletakkan kaidah fiqhiyat sebagai berikut:
“Kebutuhan itu disamakan dengan
kedudukan darurat, baik yang bersifat umum, maupun khusus.”(Ibnu Nujaim di dalamal-Asybah wa an-Nadhair, hlm:
100)
Ketiga: Keadaan Tahsiniyat
Yaitu melakukan operasi sesar dengan
alasan yang sebenarnya tidak fundamen. Tidak ada ancaman atau dampak buruk pada
bayi maupun ibu. Misalnya, karena ingin agar organ kewanitaan tetap utuh,
menghindari rasa sakit saat melahirkan, enggan menunggu proses kelahiran yang
lama, atau sekadar ingin mengepaskan waktu lahir dengan tanggal tertentu.
Operasi sesar dengan alasan seperti
ini tidak diperbolehkan, karena telah menyakiti (merusak) diri sendiri demi
mencapai tujuan yang maslahatnya tidak mu’tabar(diakui syariat). Mengapa?
Karena opersi sesar cenderung
membawa dampak kurang baik, utamanya bagianak. Yang terjadi pada anak misalnya
gangguan pernafasan akibat cairan yang memenuhi paru-paru janin selama berada
dalam rahim,rendahnya sistem kekebalan tubuh, rentan alergi,emosi cenderung
rapuh, terpengaruh anestesidan lain-lain. Efek pada ibu misalnya rasa sakit
yang sangat pada bagian perut dan rahim akibat robekan saat operasi,
kemungkinan terjadi infeksi rahim dan pendarahan yang banyak, bahkan efeknya
masih dirasakan hingga bertahun-tahun lamanya, dan sekali sesar, besar kemungkinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar