Cari Blog Ini

Senin, 29 Juli 2013

Dinasti Safawi Di Persia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam mulai dikenal oleh masyarakat Persia semenjak Rasulullah Saw mengirim surat kepada Raja Kisra dari Dinasti Sasan pada tahun 8 H/630 M. Akantetapi secara resmi Islam masuk ke Persia pada zaman Khalifah Abu Bakar, dengan keberhasilan menaklukkan Qadisiah sekaligus sebagai ibu kota Dinasti Sasan pada tahun 637 M. Progress ekspansi wilayah ke Persia dilanjutkan pada masa Dinasti Umayah dengan menaklukkan wilayah-wilayah di Persia sehingga luas wilayahnya hampir menyamai luas kekuasaan kemaharajaan Persia yang sebelumnya ditaklukkan Iskandar Agung.
Pasca serangan tentara Mongol terhadap kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran. Wilayah kekuasaannya terpecah dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Kondisi politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah
muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar (1500-1800 M) : Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India.
Kerajaan Usmani, di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainnya. Di saat kekuasaan Islam di bawah kepemimpinan Daulah Usmani dan sedang mengalami puncak kejayaannya, di tempat lain muncul benih-benih kekuatan baru, Dinasti Safawi di Persia baru berdiri. Melalui makalah ini penulis akan memaparkan mengenai eksistensi dinasti Safawi, yang melingkupi beberapa pembahasan yaitu; Pertama, Sejarah Berdirinya Dinasti Safawi. Kedua, Perkembangan Dinasti Safawi . Ketiga, Kemajuan Dinasti Safawi . Dan Keempat , Kemunduran Dan Akhir Dinasti Safawi .



                                 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Safawi Di Persia
Tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan, terdapat sebuah gerakan tarekat yaitu orang- orang yang mengkhususkan pada pembinaan dan pengarahan spiritual keagamaan. Tarekat ini didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya Dinasti Usmani. Kerajaan Shafawi menurut C.E Bosworth berdiri secara resmi diPersia (1501 M/ 907 H).  Ismail Ibn Haidar (Ismail I ) dinobatkan menjadi khalifah pertama dinasti Shafawi. Ismail Ibn Haidar mengklaim dirinya sebagai titisan para Imam Syi’ah, penjelmahan Tuhan, sinar ke-Tuhanan dari imam tersembunyi, dan Imam Mahdi.Mengenai asal kata Shafawi terjadi perbedaan pendapat.
Menurut Sayid Amir Ali yang dikutip Ajid Thohir (2004:167), kata Shafawi berasal dari kata shafi, suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Shafawi’ Shafi Al-Din Ishak Al-Ardabily, pendiri dan pemimpin tarekat Shafawi. Amir Ali beralasan, bahwa para mufasir, pedagang dan penulis Eropa selalu menyebut raja- raja Shafawi dengan gelar Shafi Agung. Sedang menurut pendapat lainnya Shafawi berasal dari kata Shafi , yaitu bagian Dari dari nama Shafi al-Din Ishak al-Ardabily sendiri. Senada dengan ini, Taufik Abdullah di dalam Ensiklopedi Tematis, menjelaskan, bahwasannya kerajaan Shafawi didirikan oleh Syekh Ismail (950 H/1501M),[5] dinisbahkan kepada tarekat Shafawiyah yang didirikan oleh Shafi al-Din Ishak (650 H/1252 M) Di Ardabil pada 1300-an.
Para sejarawan yang mendukung terhadap gerakan tarekat ini memegang penisbatan tersebut kepada kitab Shafwat al-Shafa yang ditulis oleh Ibnu Bazzaz, salah seorang penduduk Ardabil. Dia menulis kitab tersebut pada masa Syeikh Shafi al-Din Ishaq. Syeikh kemudian memerintahkan Ibnu Bazzaz untuk menyambungkan nasabnya ke ahlul Bait, mencontoh gurunya Taaj al-Din Ibrahimal-Jailani. Hal ini dilakukakannya karena masa itu alawiyyin (Syi’ah) sedang berpengaruh dan mendominasi pemikiran dan mazhab di Persia kala itu. Namun demikian, keturunannya tetap meyakini kebenaran sislilah tersebut sehingga hal ini menjadi dasar penetapan tarekat dan Dinasti Safawi bermazhab Syi’ah. Berbeda dengan dua kerajaan besar Islam lainnya, Usmani dan Mughal, dinasti Safawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab negara. Sebab itu, tidak keliru bila dinasti ini dinilai sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.Safi al-Din sebenarnya keturunan orang kaya, tapi
dia memilih suf sebagai jalan hidupnya. Gurunya bernama Taj al- Din Ibrahim Zahidi (1216-1301M) yang dikenal dengan julukan Zahid. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, lalu Safi al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Menurut Hamka, Safi al-Din mendirikan tarekat Safawi setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 H. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawi bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri- negeri di luar Ardabil, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”.
Setelah tarekat ini melebarkan sayapnya hingga diterima oleh sebagian besar kota-kota di Persia, selanjutnya tarekat ini mengubah model gerakan, dari gerakan spiritual keagamaan menjadi gerakan politik. Hal ini cukup beralasan,karena suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid- murid tarekat Safawi berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah. Perubahan arah gerakan tarekat
ini bukan sekedar isapan jempol. Terbukti kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkritnya pada masa tarekat di bawah kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Tarekat Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini tidak berjalan mulus tapi dapat penentangan dari penguasa politik saat itu bahkan hingga menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu.
B.     Perkembangan Dinasti Safawi Sejak Shafi al-Din
Memulai memimpin Ribath dan mendirikan tarekat Shafawiyah pada tahun 1303 M sampai kepada Syah Ismail I memproklamirkan berdirinya kerajaan Shafawi pada 1501 M, telah banyak pengalaman keluarga Shafawi dalam perjuangan menegakkan cita- cita selama dua abad itu. Palingtidak, ada dua tahap perjuangan yang dilalui mereka. Pertama, sebagai gerakan keagamaan (kultural) dan kedua, sebagai gerakan politik (struktural). Pada masa 1301-1447 M (700-850 H) gerakan Shafawi masih murnigerakan keagamaan (kultural) dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya. Selama masa ini Shafawi memiliki pengikut yang besar, tidak hanya di Persia tetapi juga sampai ke Syiria dan Anatolia. Mayoritas pengikutnya adalah suku-suku Turki yang masih semi nomad yang dikenal dengan sebutan Turkman yaitu diantaranya suku Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takkalu, Ashfar, dan Qojar.
Gerakan Shafawiyah pada fase peretama ini tidak mencampurkan masalah politik sehingga ia berjalan dengan aman dan lancar, baik pada masa Ikhwan maupaun pada masa penjarahan Timur Lenk. Pada masa itu kehidupan tarekat sufi dapat tumbuh subur dan mendapat simpati masyarakat, karena masyarakat sudah banyak yang bersikap apatis menyikapi konstelasi politik yang suram itu. Masyarakat berharap hanya dengan kehidupan sufisme mereka mendapat kekuatan mental dan menjalin persaudaraan antar muslim. P.M. Holt, yang dikutip Ajid Thohir (2004:170) ia berpendapat selama fase pertama gerakan Shafawi memilki dua warna. Pertama, bernuansa Sunni. Yaitu pada masa pimpinan Shafiudin Ishak (1303-1344) dan anaknya Shadrudin Musa (1344-1399). Kedua, berubah menjadi Syi’ah pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin (1399-1427). Perubahan tersebut tampaknya wajar karena disamping alasan yang sudah disebutkan, juga kemungkinan karena bertambahnya pengikut Shafawiyah di kalangan Syi’ah sehingga kepemimpinan menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas.
Pada masa (1447-1501), gerakan Shafawi memasuki tahap atau fase kedua, yaitu sebagai gerakan politik. Pemimpin Shafawi waktu itu adalah Junaid bin Ali mengubah gerakan politik revolusioner dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya. Konsekuensinya Shafawi mulai terlibat dalam konflik politik dengan kekuatan politik lain yang ada di Persia saat itu. Pada saat itu ada dua kerajaan Turki yang saat itu berkuasa yaitu Kara Koyunlu atau Black Sheep yang berkuasa di bagian timur dan Ak Koyunlu atau White Sheep yang berkuasa di bagian barat. Yang pertama beraliran Sunni sementara yang kedua beraliran Syi’ah. Disebabkan kegiatan politiknya, Junaid, pemimpin Shafawi meninggalkan Ardabil karena mendapat tekanan dari kerajaan Kara Koyunlu yang berkuasa di daerah itu. Ia juga meminta suaka politik kepada raja Ak Koyunlu yang sekaligus meminta bantuan untuk bersama-sama menghadapi Kara Koyunlu. Perubahan Shafawi dari gerakan keagamaan berubah menjadi gerakan politik cukup menarik karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi gerakan duniawi. Faktor utama penyebab adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri, yaitu hubungan para pemimpin tarekat dengan para pengikutnya. Anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada pemimpin mursyid dan khalifah itu. Hal ini bisa dijadikan modal awal untuk membangun suatu pemerintahan yang dibangun dengan sikap fanatik dan fanatis untuk mendukung memuluskan tegaknya pemerintahan. 3. Kemajuan Dinasti Safawi Masa kemajuan dan kejayaan dinasti Shafawi tidak langsung terwujud pada saat dinasti berdiri di bawah kepemimpinan Syakh Ismail, dinasti pertama(1501-1524 M). Dinasti Shafawi baru mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Secara politik, ia mampu mengatasi berbagai kemelut didalam negeri yang mengganggu stabilitas. Negara dan berhasil merebut kembali wilayah- wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Kemajuan yang dicapai kerajaan safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Menurut Badri Yatim, di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami berbagai kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu adalah antara lain sebagai berikut:
1.      Bidang Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan. Di samping sektor perdagangan kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian, terutama di daerah bulan sabit subur (Fortile Crescent ).
2.      Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Ada bebrapa ilmuan yang selalu hadir di mejelis istana yaitu Baha al- dinal-syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-din al- zaerazi, filosof, dan Muhammad Bakir ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini, kerajaan Safawi mungkin dapat dikatakan lebih berhasil dari dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang sama.
3.      Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan- bangunan besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa, di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 16 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum. Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur  bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan masjid Syeikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmaps I. Raja Ismail I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhad. Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Safawi. Setelah itu, kerajaan ini mulai mengalami gerak menurun. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Walaupun tidak setaraf dengan kemajuan Islam di masa klasik, kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan- kemajuan dalam bidang ekonomi,
ilmu pengetahuan, peninggalan seni, dan gedung- gedung bersejarah.
C.    Kemunduran Dan Akhir Dinasti Safawi
Menurut Jaih Mubarok, setelah Abbas I, dinasti Safawi mengalami kemunduran. Sulaiman, pengganti Abbas I, melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein, pengganti Sulaiman. Penduduk Afgan (saat itu bagian dari Iran) dipaksa untuk memeluk Syi’ah dan ditindas.  Penindasan ini melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahmud Khan(Amir Kandahar) sehingga berhasil menguasai Herat, Masyhad, dan kemudian merebut Isfahan (1772 M). Setelah itu, Safawi diserang oleh Turki Usmani dan Rusia. Wilayah Armenia dan beberapa wilayah Azerbaijan direbut oleh Turki Usmani. Sedangkan beberapa wilayah propinsi laut Kaspia di Jilan, Mazandaran, dan Asterabad direbut oleh Rusia. Setelah sebagian besar wilayah dikuasai oleh Afgan, Turki Usmani dan Rusia, Nadir Syah (dinasti Ashfariyah) karena mendapat dukungan dari dari suku Zand di Iran Barat – menundukan dinasti Safawi. Nadir Syah (bergelar Syah Iran) memadukan Sunni-Syi’ah untuk mendapat dukungan dari Afgan dan Turki Usmani; dan ia mengusulkan agar madzhab fiqih Ja’fari (Syi’ah) dijadikan madzhab hukum yang kelima oleh ulama Sunni. Dinasti Safawi pimpinan Nadir Syah kemudian ditaklukan oleh dinasti Qajar.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Satu hal yang menarik dari sejarah Dinasti Safawi bahwa dinasti ini bermula dari gerakan keagamaan berupa tarekat. Setelah mengalami penerimaan yang massif di tengah-tengah masyarakat dan kota-kota di Persia, gerakan keagamaan tersebut mengubah model gerakannya menuju gerakan politik. Seolah menjadi hukum alam dan sosial, suatu kelompok bila sudah banyak pengikut dan pendukungnya, mereka ingin untuk memperluas gerakannya ke arah yang lebih berkuasa dan berpengaruh yaitu kekuasaan politik. Tradisi dan ambisi model ini bisa menimpa kelompok dan gerakan apa saja, baik pada masa dulu maupun masa kini. Semua mempunyai potensi ke arah tersebut. Ini pula yang dialami Dinasti Safawi, sekalipun harus berhadapan dengan kekuatan besar penguasamasa itu, Dinasti Usmani. Kemajuan yang dicapai dinasti Shafawi ada beberapa bidang yaitu : bidang ekonomi, bidang ilmu pengetahuan,
dan bidang pembangunan fisik dan seni. Kemunduran dinasti Shafawi, dimulai ketika dipimpin oleh raja Sulaiman dan Husain. Raja Sulaiman melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein. Penindasan ini melahirkan pemberontakan dan inilah yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya dinasti Safawi.
B.     Saran
Pemakalah sangat menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah mau pun materi yang di sampaikan, oleh karena itu kami para pemakalah sangat mengaharapkan kritik dan saran dari para  pembaca sekalian agar kedepannya kami bisa lebih baik dalam menyajikan sebuah makalah.





DAFTAR PUSTAKA
Ø  Harun Nasuton, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran dan
Gerakan, Cet. ke-12 (Jakarta; Bulan Bintang, 1975)
Ø  Karen Amstrong, Islam Shor History, Terjemahan Sepintas Sejarah Islam, (Yogyakarta; Ikon Teralitera, 2003)
Ø  Perkembangan Peradaban di kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004 Teralitera, 2003)
Ø  Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam’ Khalifah , PT Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid
Ø  Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Bulan Bintang; Jakarta, 1981)
Ø   Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000

Rabu, 29 Mei 2013

Pengertian Hakikat



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
sering terdengar dikalangan orang-orang disekitar kita membicarakan tentang apa itu Hakekat!.. Disini pemakalah akan mencoba menyinggung sedikit tentang apa yang dimaksud dengan Hakekat agar pembaca tidak lagi salah persepsi dalam memahami atau mempelajari ilmu Tasawuf yang menyangkut dengan Hakekat.
B.     TUJUAN PENULISAN
Ada pun tujuan dari penulisan dari makalah ini untuk menyelesaikan tugas pribadi dari dosen pembimbing.
Untuk menambah keilmuan kita sebagai mahasiswa yang kelak meamalkan apa yang di[erintahkan oleh Allah SWT.
















BAB II
PEMBAHASAN
HAKEKAT
A.       Pengertian  Hakekat
Istilah bahasa hakikat berasal dari kata "Al-Haqq", yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:   
1)      Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :  "Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya".  
2)      Imam Al-Qasyairiy mengatakan: "Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya". Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:  
a)      "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;  
b)      "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
c)      "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal".
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya. Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari`ah yang bersifat lahiriah, yaitu batiniah, sehingga rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syariah dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh orang sufi.  
Haqiqah juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua
perjalanan, tujuan segala jalan
 Hakikat dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik dengan aspek kerohanian dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan mencapai hakikat seseorang harus memulai dengan aspek moral yang dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental seseorang dari tingkat rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi. Pada posisi tertinggi Tuhan akan menerangi hati sanubarinya dengan nur-Nya, sehingga ia betul-betul dapat dekat dengan Tuhan, mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.  
Syech Yusuf al-Makasary, telah membagi kiblat maqam terdapat 4 macam :
1)      Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam (ahli syariat), seperti misal: bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjidil haram
2)      Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)
3)      Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli hakikat-ma'rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.
4)      Kiblat Tawajjuh, adalah kiblat yang ada di hatisanubari dan sejajar dengan hakekat hati, yang telah diisyaratkan dalam sebuah Hadits “Hati seorang Mukmin adalah Arsyullah”.Sebagian ulama sufi menyatakan “ Hati itu ghaib, al-Haq juga ghaib, sehingga yang ghaib lebih layak dengan pendekatan yang ghaib pula. Apabila orang telah sampai pada keadaan ini, maka dia termasuk orang bebas.
B.     Pendapat para Sufi
Di kalangan Sufi orang yang telah mencapai tingkatan ini disebut ahli hakikat. Kalau dihubungkan dengan Tuhan, hakikat adalah sifat-sifat Allah SWT, sedangkan Zat Allah disebut al-Haqq. Sufi yang dikenal dengan faham hakikat adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang pernah menyatakan “Ana al-Haqq”.
Pembicaraan mengenai masalah ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid yang dalam pemahaman selintas dapat diartikan sebagai penyatuan makhluk dan Khalik. Para ulama Syari’at dalam Islam memandang konsep ini bertentangan dengan Islam.
Oleh karena itu sebagaimana diketahui al-Hallaj mati dibunuh karena mempunyai faham Hulul dan seperti di Jawa Syekh Siti Jenar juga mengalami hal serupa. Kaum Sufi yang mempunyai faham ini kelihatannya merasa takut untuk membicarakan Ittihad, Hulul dan Tawhid. Karena itulah uraian tentang hal ini hanya dijumpai dalam karangan-karangan modern dan tulisan-tulisan para Orientalis.
Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Saat itulah terjadi penyatuan antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam kondisi Ittihad seperti inilah satu sama lain dapat memanggil Ya Ana (wahai aku). Meskipun yang terlihat hanya satu wujud pada hakekatnya terdapat dua wujud yang berbeda.
Adapun Hulul berarti menempati atau mengambil tempat. Dalam Tasawuf, Hulul berarti suatu keadaan (hal) yang dicapai seorang Sufi ketika aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT bersatu dengan aspek al-Lahut (sifat ketuhanan) yang ada pada manusia. Hulul merupakan salah satu bentuk kebersatuan antara Allah SWT dan manusia. Kondisi ini dapat terjadi apabila manusia dapat mencapai Fana’ dengan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan yang dimilikinya sehingga yang tersisa hanyalah sifat-sifat ketuhanannya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa sebelum seorang Sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam Tasawuf disebut Fana’.  
Penghancuran diri dalam Fana’ ini senantiasa diiringi dengan Baqa’ yang berarti tetap atau terus hidup. Fana’ dan Baqa’ merupakan dua sisi mata uang atau kembar dua sebagaimana penjelasan Sufi “Jika kejahilan (kebodohan) seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.
Pada saat seorang Sufi telah mencapai hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dalam arti tidak disadarinya maka yang akan tinggal hanyalah wujud rohaninya dan ketika itulah ia dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam kajian Tasawuf, Abu Yazid al-Bustamilah (W. 874 M) yang dipandang sebagai Sufi pertama yang memunculkan faham Fana’ dan Baqa’.  
Faham tersebut tersimpul dalam kata-katanya: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”. Selanjutnya ia pun mengungkapkan: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup.......Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.  
Kelihatannya Zunnun al-Misri baru sampai ke tingkat Ma’rifat sementara Abu Yazid al-Bustami telah melewati tingkat tersebut dan mencapai Fana’ dan Baqa’ seterusnya Ittihad, bersatu dengan Tuhan.
Dalam keadaan Hulul seorang Sufi dapat mengeluarkan kata-kata yang aneh dalam pendengaran awam, seperti yang diucapkan oleh al-Hallaj: “Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar)”. Dalam istilah Sufi ungkapan-ungkapan seperti ini disebut Syatahat. Munculnya istilah seperti ini disebabkan oleh rasa cinta yang berlimpah. Menurut faham Hulul al-Hallaj, sebenarnyalah yang mengeluarkan kata-kata tersebut bukan roh al-Hallaj, melainkan unsur an-nasut Allah yang sedang mengambil tempat bersatu dengan unsur al-lahut al-Hallaj. Bukan pula pada Zat Allah, melainkan unsur an-nasut-Nya yang mengambil tempat pada unsur lahut manusia. Hal ini terlihat dari ungkapan syairnya: “Aku adalah Rahasia Tuhan Yang Maha Benar, dan bukanlah yang Maha Benar itu Aku, Aku hanya satu dari yang benar, bedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.
Dalam Hulul proses kemanunggalan Allah SWT dan manusia itu adalah Allah SWT turun mengisi dan memasuki serta mengambil tempat pada tubuh-tubuh manusia yang Ia pilih, sedangkan dalam Ittihad roh manusia naik (Mi’raj), lebur manunggal di alam Ketuhanan.
 
Memang mendalami dunia hakekat dapat menyebabkan seseorang menjadi sesat dan "syirik", sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah berkata : “Mencari Hakikat itu termasuk Syirik”. Sebagian ahli hakekat mengatakan :”Syarat kesempurnaan ibadat seorang hamba adalah mengetahui bahwa yang disembah itu tampak pada dirinya, kalau tidak demikian, maka ia tidak dapat menjadi penyembah yang sebenarnya, sebab ia dapat memasuki lautan syirik yang tersembunyi. Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi seorang penyembah karena ia menerima perintah dariNya Ta’ala dan Dia adalah yang disembah, karena segala sesuatu kembali kepadaNya. Ia juga harus mengetahui dan mengerti bahwa setiap kali ia menghadapi sesuatu apakah itu gambaran atau pengertian , ia mendapati al-Haq tampak padanya dan nyata olehnya dengan pengadaan dan penciptaaNya secara umum. Hal ini dapat dicapai setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam penerimaan penampakan itu secara khusus.
Sebagaimana Abu Yazid al-Bhistami menyatakan “ Aku adalah yang mencintai dan yang dicintai adalah Aku”. Abu Bakar al-Shiddiq berkata berkata “ Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sebelumnya”, Umar Ibn al-Khattab berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sesudahnya”, Usman ibn Affan berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan bersamanya, Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya. Perkatan para sufi dalam hal ini tujuannya sama. Adapun perbedaanya adalah terletak pada penyaksian perkataan mereka tersebut terhadap masing-masing dari mereka sesuai dengan tingkatan ma’rifatnya dalam kesufian.
Demikianlah Petikan dari beberapa kitab hasil karya Syech Yusuf Taj al-Makasari, semoga petikan ini dapat bermanfaat bagi para ahli suluk yang lagi berjalan menuju kehadllirat Allah SWT.







BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ø  Istilah bahasa hakikat berasal dari kata "Al-Haqq", yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran
Ø  Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari`ah yang bersifat lahiriah,
Ø  Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
Ø  Adapun Hulul berarti menempati atau mengambil tempat. Dalam Tasawuf, Hulul berarti suatu keadaan (hal) yang dicapai seorang Sufi ketika aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT bersatu dengan aspek al-Lahut (sifat ketuhanan) yang ada pada manusia
B.     SARAN
Pemakalah sangat menyadari banyaknya kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, diharapkan kepada pembaca kritik dan sarannya agar pemakalah dapat lebih baik lagi dalam penyusunan makalah yang akan dating.