Cari Blog Ini

Minggu, 26 Mei 2013

Wakaf



WAKAF
A.    Pengertian
Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (maşdar) وقف atau kata kerja (fi`il) وقف- يقف yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi wakaf, di antaranya:
1.    Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
2.    Mayoritas ahli fiqih (pendukung mazhab Hanafi, Syafi`i, dan Hambali) merumuskan pengertian wakaf menurut syara sebagai berikut: "Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan ada"
3.    Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu: Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu: adanya penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang diwakafkan berupa harta, dapat dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disalurkan kepada hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam.
Penyelenggaraan wakaf harus memenuhi empat unsur, yaitu:
1.    Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf;
2.    Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf;
3.    Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan;
Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir miskin. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf ahli atau wakaf żurri (wakaf keluarga). Bila wakaf tersebut diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata, maka wakaf seperti ini disebut wakaf ħairi.
B.     Pandangan Fuqaha tentang Wakaf
1.      Abu Hanifah
Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai şadaqah yang kedudukannya seperti 'ariyah, yakni pinjam meminjam. Perbedaan antara keduanya terletak pada bendanya. Dalam 'ariyah, benda ada di tangan si peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu.
Sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang dişadaqahkan. Oleh karena itu, wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti gair lâzim, kecuali dalam tiga hal, yaitu: (1) wakaf masjid, (2) apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim, dan (3) apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat. Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua mazhab sebagai 'aqad tabarru', yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qâbul dari pihak penerima dan dicukupkan atas ijâb si wakif.
2.    Imam Malik
Menurut teori Imam Malik, wakaf itu mengikat dalam arti lâzim, tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti mu'abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu (mu'aqqat). Namun demikian, wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah ditetapkannya.
Harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (taşarruf) selama masa wakafnya belim habis. Jika dalam şigat atau ikrar wakaf itu tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya (mu'abbad). Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis Ibn 'Umar yang berbunyi:
أصاب عمرأرضابخيبرفأتى النبي صلعم يستأمره فيهافقال يارسول الله اني أصبت أرضالم أصب قط مالاأنفس عندي منه فماتأمرني فيه؟ قال ان شئت حبست أصلهاوتصدقت بهاغيرعلى أنه ولايباع أصلهاولايبتاع ولايوهب ولايورث قال فتصدق بهاعمر فى الفقراء وذوالقربى والرقاب وابن السبيل. لاجناح على من وليهاأن يأكل منهابالمعروف ويطعم غيرمتمول "وفى اللفط" غيرمتأثل مالا
Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia dating kepada Rasulullah Saw. meminta untuk mengolahnya seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?" Nabi bersabda: "Jika Kau menginginkannya, tahanlah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan. Ibn 'Umar menshadaqahkannya (mewakafkan tanah Khaibar itu) kepada fakir miskin, karib kerabat, budak (riqab) dan ibn sabil. Tidaklah berdosa bagi orang yang mengurus harta wakaf itu untuk menggunakannya sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu (mutamawwil). Sedang dalam riwayat lain digunakan lafaz gair mutaaśśil, yakni tanpa tujuan untuk menguasai harta wakaf itu.
3.      Imam al-Syafi'i
Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-şadaqat, al-şadaqat al-muharramat, al-adaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs.
Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.

KESIMPULAN
Dari paparan yang sederhana ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1.        Peraturan tentang wakaf sudah ada sejak zaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dilanjutkan pada zaman kemerdekaan.
2.        Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 Tahun 1960 merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh Indonesia (DI. Yogyakarta baru melaksanakan pada tahun 1984) memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf b.
3.        Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan perwakafan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka pada dasarnya sama. Dalam beberapa hal, hukum perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm di antaranya.
4.        PP Nomor 28 Tahun 1977 merupakan pedoman perwakafan di Indonesia yang sudah relatif lengkap sekalipun masih harus dilengkapi lagi.

















DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1979. Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. Bandung:Alumni.
Ali, Muhamad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf . Jakarta: UI Press.
Djunaedi, Ahmad dkk. 2003. Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf. Jakarta:Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji
Rasyid, Sulaiman. 2008. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Munzir Suparta. Kurikulum 1994. Fikih Madrasah Aliyah Kelas Satu. (Semarang: PT. Karya Toha Putera).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar