Cari Blog Ini

Minggu, 26 Mei 2013

Hukum Ganti Kelamin



BAB I
Pendahuluan
  1. Latar Belakang
Fenomena transeksual (masalah kebingungan jenis kelamin) yang diikuti dengan tindakan operasi merubah kelamin, sebenarnya mempunyai implikasi yang akan menyentuh banyak aspek, masalah ini merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun dengan ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ironisnya, di media pertelevisian Indonesia seakan menyemarakkan dan menyosialisasikan perilaku ketransseksualan dalam berbagai acara yang memberikan porsi kepada para waria dan semacamnya sebagai pengisi acara atau pembawa acara, yang secara tidak langsung membiasakan masyarakat dengan fenomena semacam itu. Dewasa ini masyarakat sudah tidak risih dengan keberadaan para guy atau waria yang mungkin juga disebabkan oleh kebiasaan mereka menonton idola mereka di televisi yang notabene adalah seorang waria atau guy. Dan seakan artis seperti Dorce Gamalama yang telah melakukan operasi alat kelamin di Singapore merupakan figur yang berani dan patut dicontoh karena telah mengikuti apa kata nuraninya. Apakah yang dimaksud dengan penggantian kelamin dan bagaimanakah hukum operasi kelamin serta mengubah-ubah jenis kelamin?. Bagaimanakah fatwa para ulama’ tentang operasi ganti kelamin ini ?. Atas dasar pertanyaan-pertanyaan itulah, maka disusunlah makalah hukum operasi ganti kelamin ini.

 

  1. Rumusan Masalah
    1. Apakah yang dimaksud dengan penggantian kelamin ?
    2. Bagaimanakah proses operasi ganti kelamin dan efeknya ?
    3. Bagaimanakah hukum operasi ganti kelamin ?
    4. Bagaimanakah fatwa para ulama’ tentang operasi ganti kelamin ini ?
    5. Apakah konsekuensi hukum atas terjadinya penggantian kelamin ?
                                                                     BAB II
Pembahasan
  1. Pengertian
 Operasi ganti kelamin (taghyir al-jins) adalah operasi pembedahan untuk mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan dilakukan dengan memotong dzakar dan testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina) dan membesarkan payudara. Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (dzakar). Operasi ini juga disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal. (M. Mukhtar Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibbiyah, hal. 199).[1]

  1. Proses Operasi Ganti Kelamin dan Efeknya.
Pada opersi penggantian kelamin, dzakar dan scrotum (buah dzakar atau buah pelir) serta tesis (tempat produksi sperma) dibuang. Sedangkan kulit scrotan digunakan untuk menutup liang vagina (faraj) ; dan untuk pembuatan clitoris (klentit), diambil dari sebagian dzakar yang telah terbuang tadi.
Karena operasi tersebut merupakan pembedahan yang mengandung resiko, maka seorang dokter  yang menanganinya harus berhati-hati dan cermat, karena bisa saja terjadi hal-hal sebagai berikut:
1.      Tembusnya anus atau tempat kotoran, sehingga mestinya kotoran keluar dari dubur, justru melewati liang vagina buatan itu. Maka kedalaman liang vagina buatan itu harus disesuaikan dengan besarnya pinggul atau anatomi tubuh yang menjalani operasi. Tentu saja pinggul yang agak kecil tidak diperbolehkan membuat liang vaginanya terlalu dalam, karena dikhawatirkan dapat menembus tempat kotorannya, yang pada gilirannya dapat membahayakan pasien itu sendiri. Tapi kebanyakan pasien yang dioperasi di indonesia, kedalaman vaginanya hanya mencapai antara 10 sampai 15 cm. Itu pun masih bisa mengerut dan memendek bila operasinya sudah sembuh. Oleh karena itu, vagina yang selesai dioperasi, dipasangi didalamnya sebuah alat penyanggah yang disebut “tampo” selama satu bulan baru bisa dilepaskan. Dan kalau dilepaskan sebelum lukanya sembuh maka liangnya bisa tertutup lagi.
2.      Terjadinya kelainan syaraf pada penderita, bila ia tidak dapat menahan kencing setelah operasinya selesai . Ini sering terjadi, karena ketika dioperasi, saluran kencingnya ikut terbuang.[2]

  1. Hukum Operasi Ganti Kelamin.
Transeksual dapat diakibatkan oleh faktor bawaan (hormon atau gen) dan faktor lingkungan yang kemudian memotifasi seseorang untuk melakukan pergantian kelamin. Mengenai hukum dari melakukan operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery) bagi orang yang lahir normal jenis kelaminnya adalah “haram”. Dasar yang digunakan atas pengharaman ini yaitu:
1.       Firman Allah swt,. Dalam surat an-Nisa’ ayat 119, yaitu :
öNßg¨Y¯=ÅÊ_{ur öNßg¨YtÏiYtB_{ur öNßg¯RtãBUyur £`à6ÏnGu;ãn=sù šc#sŒ#uä Éyè÷RF{$# öNåk¨XzßDUyur žcçŽÉitóãŠn=sù šYù=yz «!$# 4 `tBur ÉÏ­Ftƒ zsÜø¤±9$# $wŠÏ9ur `ÏiB Âcrߊ «!$# ôs)sù tÅ¡yz $ZR#tó¡äz $YYÎ6B ÇÊÊÒÈ  
Artinya : “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya[3], dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya[4]". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
2.      Hadist Rasulullah saw,.
a.      Hadits Nabi riwayat Bukhari dan enam ahli hadits lainnya dari Ibnu Mas’ud.
لعن الله الواشمات والمستوشمات والنامصات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله
Artinya: “Allah mengutuk para wanita tukang tato, yang meminta di tato, yang menghilangkan bulu muka, yang meminta dihilangkan bulu mukanya, dan para wanita yang memotong (panggur) giginya, yang semuanya itu dikerjakan dengan maksud untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah swt.
Hadits ini bisa menunjukkan bahwa seorang pria atau wanita yang normal jenis kelaminnya dilarang oleh Islam mengubah jenis kelaminnya, karena mengubah ciptaan Allah tanpa alasan yang hak yang dibenarkan oleh Islam.[5]
b.      Hadits riwayat Bukhari.
 لعن رسول الله صلَى الله عليه وسلَم المتشبّهين من الرجال بالنساء، والمتشبّهات من النساء بالرجال
Artinya : “Rasulullah telah melaknat orang-orang laki-laki yang meniru-niru ( menyerupai ) perempuan dan perempuan yang meniru-niru ( menyerupai ) laki-laki “ ( HR Bukhari ). Berkata Imam Qurtubi : “ Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ahli Fiqh dari Hijaz dan Ahli Fikih dari Kufah bahwa mengebiri keturunan Adam hukumnya haram dan tidak boleh, karena termasuk dalam katagori menyiksa. “ ( Tafsir Qurtubi : 5 / 391 ). Kalau mengebiri saja tidak boleh, yaitu perbuatan untuk memandulkan alat kelamin, apalagi merubah dan menggantikannya, tentunya sangat diharamkan.[6]
Akan tetapi, seminar tinjauan syari’at islam tentang operasi ganti kelamin oleh PWNU Jawa Timur, tanggal 24-26 Muharram 1410 H / 26-28 Agustus 1989 M. Telah mengupas persoalan ini sampai mendalam, sebagai berikut :
1.   Seorang laki-laki atau perempuan yang normal,  dalam arti alat kelamin luar dan dalamnya tidak ada kelaian, lalu karena sesuatu hal dia minta dioperasi agar kelamin luarnya diubah menjadi jenis kelamin yang berbeda atau berlawanan dengan jenis kelaminnya yang dalam. Bagaimanakah hukumnya?
Hukumnya adalah “haram”, sebab termasuk mengubah ciptaan dari Allah dan mengecoh orang lain . Dasar pengambilan hukum:
a.      Imam Qurthubi dalam tafsirnya juz III, halaman 1963 mengatakan sebagai  berikut :
Abu Ja’far al-Thabari berkata, hadits riwayat Ibnu Mas’ud adalah sebagai dalil tentang ketidakbolehan mengubah apapun yang telah diciptakan oleh Allah swt., baik menambah atau mengurangi  ... Imam I’yadh berkata, bahwa orang yang diciptakan dengan jari-jari berlebih atau anggota tubuh yang berlebih atau anggota tubuh yang berlebih, maka ia tidak boleh memotongnya atau mencabutnya, karena yang demikian itu berati merubah ciptaan Allah swt. Kecuali jika kelebihan itu menyakitkan, maka boleh  menurut iman Abu ja’far dan yang lainya.
b.      Dalam Tafsir al-Munir juz I, halaman 174 dinyatakan sebagai berikut :
Dan syetan berkata ketika itu.” Saya akan benar-benar mengambil dari hamba-Mu bagian yang sudah ditentukan”(al-Nisa’:118) yakni, saya (syetan) benar-benar akan menjadikan dari hamba-hamba-Mu sebagai bagian yang telah dientukan untuk saya. Mereka adalah yang telah mengikuti langkah-langkah iblis dan menerima bisikan-bisikannya....dan pasti saya akan menyuruh mereka untuk melakukan perubahan, maka mereka pun pasti akan mengubah ciptaan Allah swt, baik bentuk apapun, sifat, seperti mengebiri hamba sahaya, mencungkil mata, memotong telinga, membuat tato dan memakai wieg. Sesungguhnya wanita dengan melakukan perbuatan yang demikian itu berarti telah mendekatkan diri pada perzinaan. Orang-orang arab, jika unta mereka telah mencapai seribu, mereka akan membuat cacat mata penjantannya.
Termasuk dalam pengertian (larangan) ayat ini adalah, mengganti kelamin dirinya secara mutlak; laki-laki menjadi wanita dan wanita menjadikan dirinya sebagai laki-laki. Para Fuqaha’ memberikan dispensasi pengebirian itu pada hewan untuk keperluan tertentu, maka diperbolehkan pada binatang kecil yang boleh dimakan dan haram pada selainnya.[7]

2.   Seorang laki-laki atau perempuan yang kelamin dalamnya normal, tetapi kelamin luarnya tidak normal, misalnya: kelamin luar berlawanan dengan kelamin dalam, lalu dioperasi untuk disamakan dengan kelamin dalam. Bagaimana hukum nya?
 Hukumnya adalah “mubah atau boleh” apabila ada adat syar’iyyah atau hajat yang sangat penting. Dasar pengambilan hukumn:
a.         Dalam kitab “Fathul Baari”, juz X, halaman 377 disebutkan:
Imam al-Thabari berkata, wanita itu tidak diperbolehkan mengubah sesuatu dari bentuk dirinya yang telah diciptakan oleh allah swt, baik dengan menambahkan atau dengan mengurangi dengan tujuan mempercantik diri dan bukan untuk suami..... semua itu termasuk dalam larangan, yakni mengubah ciptaan allah swt terkecuali hal-hal yang dapat menyebabkan kesakitan dan bahaya, seperti seseorang yang mempunyai gigi atau jari lebih sehingga menyakitinya.[8]

3.      Seseorang (laki-laki atau perempuan) yang kelamin dalamnya normal, tetapi kelamin luarnya tidak normal, misalnya: kelamin luarnya sama atau cocok dengan kelamin dalamnya, tetapi bentuknya tidak sempurna, lalu diopersi untuk disempurnakan. Bagaimana hukumnya?
Hukumnya “boleh, bahkan lebih utama”. Dasar pengambilan hukum
a.         Dalam tafsir “al qurthubi” juz III halaman 1963 disebutkan:
قال عياض: ويأتي على ما ذكره أن من خلق بأصبع زائدة أو عضو زائد لا يجوز له قطعه ولا نزعه لأنه من تغيير خلق الله  الا ان تكون هذه الزوائد مؤلمة فلا بأس رربنزعها عند أبي جعفر وغيره .(تفسير القرطبي )
Imam ‘iyadh berpendapat, berdasarkan penjelasan diatas, maka orang yang diciptakan (oleh allah) dengan jari-jari berlebih atau anggota tubuh yang berlebih, ia tidak boleh memotongnya, ataupun mencabutnya, karena yang demikian itu berarti mengubah ciptaan allah swt, namun jika anggota yang lebih itu menyakitkan, maka menurut abu ja’far dan yang lainnya boleh mencabutnya.
b.         Kitab “Fathul Baari”, juz X, halaman 272.
         Diriwayatkan dari Utsman bin Jarir dari Manshur dari Ibrahim dari alqamah dari Abdillah, bahwa Allah swt,. Melaknat wanita-wanita yang membuat tato dan yang meminta untuk ditato, serta wanita-wanita yang mencukur atau mencabut bulu (yang ada di wajah, seperti bulu mata dan alis), dan wanita yang memangur gigi mereka untuk mempercantik diri. Selanjutnya dikatakan, mengapa aku tidak melaknat orang-orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah saw,. Sedangkan dalam kitab Allah swt,. disebutkan bahwa apapun yang datang dari Rasulullah saw,. Untuk kalian maka laksanakan, dan yang dilarang olehnya terhadap kalian maka tinggalkanlah.
         Kalimat “wanita-wanita yang memangur gigi mereka untuk mempercantik diri” memberikan pengertian, bahwa yang tercela itu adalah wanita yang melakukan perbuatan tersebut dengan tujuan untuk mempercantik diri. Sedangkan jika memang karena kebutuhan yang mendesak, seperti untuk pengobatan, maka hukumnya boleh.[9]

4.      Seseorang yang mempunyai kelamin luar dua jenis (laki-laki dan perempuan) lalu dioperasi untuk mematikan salah satunya. Bagaimana hukumnya?
      Setelah ”ahlul khibrah” (team ahli) melakukan penelitian jenis kelaminnya dan telah menetukn jenis kelaminnya, maka:
a.   Operasi mematikan alat kelamin luar yang berlawanan dengan alat kelamin dalamnya, hukumnya “boleh”. Dasar hukumnya sama dengan dasar hukum dari jawaban poin dua dan tiga.
b.   Operasi untuk menghidupkan alat kelamin luar yang berl;awanan alat kelamin dalamnya, maka hukumnya “haram”; karena hal tersebut membawa bencana dan tidak hajat dalam hal tersebut. Adapun status hukum dari kekelaminannya sesuai dengan penetapan “ahlul khibrah”. Dasar hukumnya sama dengan dasar hukum dari jawaban  poin satu di atas. [10]

  1. Pendapat para Ulama’ tentang Operasi Ganti Kelamin.
1.      Adapun operasi kelamin maka hukumnya “haram” secara syar’i apabila hanya disandarkan pada keinginan pribadi tanpa adanya suatu cacat pada sisi jasmani atau alat kelaminnya yang membolehkan dilakukannya operasi tersebut. Dan operasi kelamin yang telah banyak dilakukan dan tidak mengandung unsur cacat secara medis, tetapi hanya dimaksudkan untuk mempercantik diri dengan menampakkan suatu bentuk tertentu dari kecantikannya, ataupun mengubah bentuk yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya maka hal ini tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Karena di dalamnya ada bentuk perusakan hukum syar’i dan unsur penipuan serta membahayakan. (Dr. Yasir Shalih M. Jamal, Kepala fakultas kedokteran bidang operasi anak RS. Universitas Al-Malik ‘Abdul ‘Aziz).
2.      Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.
Sehingga jelaslah, jika operasi kelamin dilakukan hanya karena kurang ‘sreg’ dengan kepribadiannya, padahal Allah Subhana Wa Ta’ala telah mengaruniakannya kelamin yang jelas, maka perbuatan ini diharamkan secara syar’i, dan hendaknya pelakunya bertobat kepada Allah.[11]

E.     Konsekuensi Hukum Penggantian Kelamin.
 Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.[12]
BAB III
Penutup

Kesimpulan
1.      Operasi ganti kelamin (taghyir al-jins) adalah operasi pembedahan untuk mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya.
2.      Pada opersi penggantian kelamin, dzakar dan scrotum (buah dzakar atau buah pelir) serta tesis (tempat produksi sperma) dibuang. Sedangkan kulit scrotan digunakan untuk menutup liang vagina (faraj) ; dan untuk pembuatan clitoris (klentit), diambil dari sebagian dzakar yang telah terbuang tadi.
3.      Hukum dari melakukan operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery) bagi orang yang lahir normal jenis kelaminnya adalah “haram”.
4.      Adapun operasi kelamin maka hukumnya “haram” secara syar’i apabila hanya disandarkan pada keinginan pribadi tanpa adanya suatu cacat pada sisi jasmani atau alat kelaminnya yang membolehkan dilakukannya operasi tersebut.
5.      Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar