BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mulai dikenal oleh
masyarakat Persia semenjak Rasulullah Saw mengirim surat kepada Raja Kisra dari
Dinasti Sasan pada tahun 8 H/630 M. Akantetapi secara resmi Islam masuk ke
Persia pada zaman Khalifah Abu Bakar, dengan keberhasilan menaklukkan Qadisiah
sekaligus sebagai ibu kota Dinasti Sasan pada tahun 637 M. Progress ekspansi
wilayah ke Persia dilanjutkan pada masa Dinasti Umayah dengan menaklukkan
wilayah-wilayah di Persia sehingga luas wilayahnya hampir menyamai luas
kekuasaan kemaharajaan Persia yang sebelumnya ditaklukkan Iskandar Agung.
Pasca serangan tentara Mongol terhadap kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad,
kekuatan politik Islam mengalami kemunduran. Wilayah kekuasaannya terpecah
dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi.
Kondisi politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali
setelah
muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar (1500-1800 M) : Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India.
muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar (1500-1800 M) : Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India.
Kerajaan Usmani, di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan
paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainnya. Di saat kekuasaan Islam di
bawah kepemimpinan Daulah Usmani dan sedang mengalami puncak kejayaannya, di
tempat lain muncul benih-benih kekuatan baru, Dinasti Safawi di Persia baru
berdiri. Melalui makalah ini penulis akan memaparkan mengenai eksistensi
dinasti Safawi, yang melingkupi beberapa pembahasan yaitu; Pertama, Sejarah
Berdirinya Dinasti Safawi. Kedua, Perkembangan Dinasti Safawi . Ketiga,
Kemajuan Dinasti Safawi . Dan Keempat , Kemunduran Dan Akhir Dinasti Safawi .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya
Dinasti Safawi Di Persia
Tepatnya di Ardabil, sebuah
kota di Azerbaijan, terdapat sebuah gerakan tarekat yaitu orang- orang yang
mengkhususkan pada pembinaan dan pengarahan spiritual keagamaan. Tarekat
ini didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya Dinasti
Usmani. Kerajaan Shafawi menurut C.E Bosworth berdiri secara resmi diPersia
(1501 M/ 907 H). Ismail Ibn Haidar (Ismail I )
dinobatkan menjadi khalifah pertama dinasti Shafawi. Ismail Ibn Haidar
mengklaim dirinya sebagai titisan para Imam Syi’ah, penjelmahan Tuhan, sinar
ke-Tuhanan dari imam tersembunyi, dan Imam Mahdi.Mengenai asal kata Shafawi
terjadi perbedaan pendapat.
Menurut Sayid Amir Ali yang
dikutip Ajid Thohir (2004:167), kata Shafawi berasal dari kata shafi, suatu
gelar bagi nenek moyang raja-raja Shafawi’ Shafi Al-Din Ishak Al-Ardabily,
pendiri dan pemimpin tarekat Shafawi. Amir Ali beralasan, bahwa para
mufasir, pedagang dan penulis Eropa selalu menyebut raja- raja Shafawi dengan
gelar Shafi Agung. Sedang menurut pendapat lainnya Shafawi berasal dari kata
Shafi , yaitu bagian Dari dari nama Shafi al-Din Ishak al-Ardabily sendiri.
Senada dengan ini, Taufik Abdullah di dalam Ensiklopedi Tematis, menjelaskan,
bahwasannya kerajaan Shafawi didirikan oleh Syekh Ismail (950 H/1501M),[5]
dinisbahkan kepada tarekat Shafawiyah yang didirikan oleh Shafi al-Din Ishak
(650 H/1252 M) Di Ardabil pada 1300-an.
Para sejarawan yang mendukung terhadap gerakan tarekat ini memegang
penisbatan tersebut kepada kitab Shafwat al-Shafa yang ditulis oleh Ibnu
Bazzaz, salah seorang penduduk Ardabil. Dia menulis kitab tersebut pada masa
Syeikh Shafi al-Din Ishaq. Syeikh kemudian memerintahkan Ibnu Bazzaz untuk
menyambungkan nasabnya ke ahlul Bait, mencontoh gurunya Taaj al-Din
Ibrahimal-Jailani. Hal ini dilakukakannya karena masa itu alawiyyin (Syi’ah)
sedang berpengaruh dan mendominasi pemikiran dan mazhab di Persia kala itu. Namun
demikian, keturunannya tetap meyakini kebenaran sislilah tersebut sehingga hal
ini menjadi dasar penetapan tarekat dan Dinasti Safawi bermazhab Syi’ah. Berbeda dengan dua kerajaan besar
Islam lainnya, Usmani dan Mughal, dinasti Safawi menyatakan Syi’ah sebagai
mazhab negara. Sebab itu, tidak keliru bila dinasti ini dinilai sebagai peletak
pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.Safi al-Din sebenarnya
keturunan orang kaya, tapi
dia memilih suf sebagai jalan hidupnya. Gurunya bernama Taj al- Din Ibrahim Zahidi (1216-1301M) yang dikenal dengan julukan Zahid. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, lalu Safi al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Menurut Hamka, Safi al-Din mendirikan tarekat Safawi setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 H. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawi bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri- negeri di luar Ardabil, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”.
dia memilih suf sebagai jalan hidupnya. Gurunya bernama Taj al- Din Ibrahim Zahidi (1216-1301M) yang dikenal dengan julukan Zahid. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, lalu Safi al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Menurut Hamka, Safi al-Din mendirikan tarekat Safawi setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 H. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawi bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri- negeri di luar Ardabil, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”.
Setelah tarekat ini melebarkan sayapnya hingga diterima oleh sebagian
besar kota-kota di Persia, selanjutnya tarekat ini mengubah model gerakan, dari
gerakan spiritual keagamaan menjadi gerakan politik. Hal ini cukup
beralasan,karena suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya
kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa.
Karena itu, lama kelamaan murid- murid tarekat Safawi berubah menjadi tentara
yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang
bermazhab selain Syi’ah. Perubahan arah gerakan tarekat
ini bukan sekedar isapan jempol. Terbukti kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkritnya pada masa tarekat di bawah kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Tarekat Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini tidak berjalan mulus tapi dapat penentangan dari penguasa politik saat itu bahkan hingga menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu.
ini bukan sekedar isapan jempol. Terbukti kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkritnya pada masa tarekat di bawah kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Tarekat Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini tidak berjalan mulus tapi dapat penentangan dari penguasa politik saat itu bahkan hingga menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu.
B. Perkembangan
Dinasti Safawi Sejak Shafi al-Din
Memulai memimpin Ribath dan
mendirikan tarekat Shafawiyah pada tahun 1303 M sampai kepada Syah Ismail I
memproklamirkan berdirinya kerajaan Shafawi pada 1501 M, telah banyak
pengalaman keluarga Shafawi dalam perjuangan menegakkan cita- cita selama dua
abad itu. Palingtidak, ada dua tahap perjuangan yang dilalui mereka.
Pertama, sebagai gerakan keagamaan (kultural) dan kedua, sebagai gerakan
politik (struktural). Pada masa 1301-1447 M (700-850 H) gerakan Shafawi masih
murnigerakan keagamaan (kultural) dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya.
Selama masa ini Shafawi memiliki pengikut yang besar, tidak hanya di Persia
tetapi juga sampai ke Syiria dan Anatolia. Mayoritas pengikutnya adalah
suku-suku Turki yang masih semi nomad yang dikenal dengan sebutan Turkman yaitu
diantaranya suku Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takkalu, Ashfar, dan Qojar.
Gerakan Shafawiyah pada fase peretama ini tidak mencampurkan masalah
politik sehingga ia berjalan dengan aman dan lancar, baik pada masa Ikhwan
maupaun pada masa penjarahan Timur Lenk. Pada masa itu kehidupan tarekat sufi dapat
tumbuh subur dan mendapat simpati masyarakat, karena masyarakat sudah banyak
yang bersikap apatis menyikapi konstelasi politik yang suram itu. Masyarakat
berharap hanya dengan kehidupan sufisme mereka mendapat kekuatan mental dan
menjalin persaudaraan antar muslim. P.M. Holt, yang dikutip Ajid Thohir
(2004:170) ia berpendapat selama fase pertama gerakan Shafawi memilki dua
warna. Pertama, bernuansa Sunni. Yaitu pada masa pimpinan Shafiudin Ishak
(1303-1344) dan anaknya Shadrudin Musa (1344-1399). Kedua, berubah menjadi
Syi’ah pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin (1399-1427). Perubahan
tersebut tampaknya wajar karena disamping alasan yang sudah disebutkan, juga
kemungkinan karena bertambahnya pengikut Shafawiyah di kalangan Syi’ah sehingga
kepemimpinan menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas.
Pada masa (1447-1501), gerakan Shafawi memasuki tahap atau fase kedua,
yaitu sebagai gerakan politik. Pemimpin Shafawi waktu itu adalah Junaid bin Ali
mengubah gerakan politik revolusioner dengan tarekat Shafawiyah sebagai
sarananya. Konsekuensinya Shafawi mulai terlibat dalam konflik politik dengan
kekuatan politik lain yang ada di Persia saat itu. Pada saat itu ada dua
kerajaan Turki yang saat itu berkuasa yaitu Kara Koyunlu atau Black Sheep yang
berkuasa di bagian timur dan Ak Koyunlu atau White Sheep yang berkuasa di
bagian barat. Yang pertama beraliran Sunni sementara yang kedua beraliran
Syi’ah. Disebabkan kegiatan politiknya, Junaid, pemimpin Shafawi meninggalkan
Ardabil karena mendapat tekanan dari kerajaan Kara Koyunlu yang berkuasa di
daerah itu. Ia juga meminta suaka politik kepada raja Ak Koyunlu yang sekaligus
meminta bantuan untuk bersama-sama menghadapi Kara Koyunlu. Perubahan Shafawi
dari gerakan keagamaan berubah menjadi gerakan politik cukup menarik karena
sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi gerakan
duniawi. Faktor utama penyebab adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran
tarekat itu sendiri, yaitu hubungan para pemimpin tarekat dengan para
pengikutnya. Anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada pemimpin mursyid
dan khalifah itu. Hal ini bisa dijadikan modal awal untuk membangun suatu
pemerintahan yang dibangun dengan sikap fanatik dan fanatis untuk mendukung
memuluskan tegaknya pemerintahan. 3. Kemajuan Dinasti Safawi Masa kemajuan dan
kejayaan dinasti Shafawi tidak langsung terwujud pada saat dinasti berdiri di
bawah kepemimpinan Syakh Ismail, dinasti pertama(1501-1524 M). Dinasti Shafawi
baru mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Secara politik, ia
mampu mengatasi berbagai kemelut didalam negeri yang mengganggu stabilitas.
Negara dan berhasil merebut kembali wilayah- wilayah yang pernah direbut oleh
kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Kemajuan yang dicapai kerajaan safawi tidak hanya terbatas di bidang
politik. Menurut Badri Yatim, di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami
berbagai kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu adalah antara lain sebagai berikut:
1. Bidang Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan
Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian
Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun
diubah menjadi bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah
satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan. Di samping
sektor perdagangan kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian,
terutama di daerah bulan sabit subur (Fortile Crescent ).
2. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia sebagai bangsa yang berperadaban
tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila pada masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus
berlanjut. Ada bebrapa ilmuan yang selalu hadir di mejelis istana yaitu Baha
al- dinal-syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-din al- zaerazi,
filosof, dan Muhammad Bakir ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog,
dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
Dalam bidang ini, kerajaan Safawi mungkin dapat dikatakan lebih berhasil dari
dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang sama.
3. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota
kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan-
bangunan besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah,
jembatan raksasa, di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga
diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I
wafat, di Isfahan terdapat 16 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273
pemandian umum. Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada masjid Shah yang dibangun tahun
1611 M dan masjid Syeikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni
lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet,
permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis
mulai dirintis sejak zaman Tahmaps I. Raja Ismail I pada tahun 1522 M membawa
seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhad. Demikianlah puncak
kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Safawi. Setelah itu, kerajaan ini mulai
mengalami gerak menurun. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi
salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya,
terutama dalam bidang politik dan militer. Walaupun tidak setaraf dengan
kemajuan Islam di masa klasik, kerajaan ini telah memberikan kontribusinya
mengisi peradaban Islam melalui kemajuan- kemajuan dalam bidang
ekonomi,
ilmu pengetahuan, peninggalan seni, dan gedung- gedung bersejarah.
ilmu pengetahuan, peninggalan seni, dan gedung- gedung bersejarah.
C. Kemunduran Dan Akhir Dinasti Safawi
Menurut Jaih Mubarok, setelah Abbas I, dinasti Safawi mengalami
kemunduran. Sulaiman, pengganti Abbas I, melakukan penindasan dan pemerasan
terhadap Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin
parah terjadi pada zaman Sultan Husein, pengganti Sulaiman. Penduduk Afgan
(saat itu bagian dari Iran) dipaksa untuk memeluk Syi’ah dan ditindas. Penindasan
ini melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahmud Khan(Amir Kandahar)
sehingga berhasil menguasai Herat, Masyhad, dan kemudian merebut Isfahan (1772
M). Setelah itu, Safawi diserang oleh Turki Usmani dan Rusia. Wilayah Armenia
dan beberapa wilayah Azerbaijan direbut oleh Turki Usmani. Sedangkan beberapa
wilayah propinsi laut Kaspia di Jilan, Mazandaran, dan Asterabad direbut oleh
Rusia. Setelah sebagian besar wilayah dikuasai oleh Afgan, Turki Usmani dan
Rusia, Nadir Syah (dinasti Ashfariyah) karena mendapat dukungan dari dari suku
Zand di Iran Barat – menundukan dinasti Safawi. Nadir Syah (bergelar Syah Iran)
memadukan Sunni-Syi’ah untuk mendapat dukungan dari Afgan dan Turki Usmani; dan
ia mengusulkan agar madzhab fiqih Ja’fari (Syi’ah) dijadikan madzhab hukum yang
kelima oleh ulama Sunni. Dinasti Safawi pimpinan Nadir Syah kemudian ditaklukan
oleh dinasti Qajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Satu hal yang menarik dari sejarah Dinasti Safawi bahwa dinasti ini
bermula dari gerakan keagamaan berupa tarekat. Setelah mengalami penerimaan
yang massif di tengah-tengah masyarakat dan kota-kota di Persia, gerakan
keagamaan tersebut mengubah model gerakannya menuju gerakan politik. Seolah menjadi
hukum alam dan sosial, suatu kelompok bila sudah banyak pengikut dan
pendukungnya, mereka ingin untuk memperluas gerakannya ke arah yang lebih
berkuasa dan berpengaruh yaitu kekuasaan politik. Tradisi dan ambisi model ini
bisa menimpa kelompok dan gerakan apa saja, baik pada masa dulu maupun masa
kini. Semua mempunyai potensi ke arah tersebut. Ini pula yang dialami Dinasti
Safawi, sekalipun harus berhadapan dengan kekuatan besar penguasamasa itu,
Dinasti Usmani. Kemajuan yang dicapai dinasti Shafawi ada beberapa bidang yaitu
: bidang ekonomi, bidang ilmu pengetahuan,
dan bidang pembangunan fisik dan seni. Kemunduran dinasti Shafawi, dimulai ketika dipimpin oleh raja Sulaiman dan Husain. Raja Sulaiman melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein. Penindasan ini melahirkan pemberontakan dan inilah yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya dinasti Safawi.
dan bidang pembangunan fisik dan seni. Kemunduran dinasti Shafawi, dimulai ketika dipimpin oleh raja Sulaiman dan Husain. Raja Sulaiman melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein. Penindasan ini melahirkan pemberontakan dan inilah yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya dinasti Safawi.
B. Saran
Pemakalah
sangat menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah mau pun materi yang
di sampaikan, oleh karena itu kami para pemakalah sangat mengaharapkan kritik
dan saran dari para pembaca sekalian
agar kedepannya kami bisa lebih baik dalam menyajikan sebuah makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Harun Nasuton, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran
dan
Gerakan, Cet. ke-12 (Jakarta; Bulan Bintang, 1975)
Gerakan, Cet. ke-12 (Jakarta; Bulan Bintang, 1975)
Ø Karen Amstrong, Islam Shor History, Terjemahan Sepintas Sejarah
Islam, (Yogyakarta; Ikon Teralitera, 2003)
Ø Perkembangan Peradaban di kawasan Dunia Islam, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2004 Teralitera, 2003)
Ø Taufik Abdullah dkk,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam’ Khalifah , PT Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid
Ø Hamka, Sejarah Umat
Islam, Jilid III, (Bulan Bintang; Jakarta, 1981)
Ø
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000